Baskara Rizqullah A.K.A. Basboi mungkin adalah anomali dalam kultur hip hop Indonesia: dia tidak berpakaian seperti rapper kebanyakan, dia lebih memilih untuk hang out bersama pemain band, dan dia terpapar oleh banyak referensi yang berada diluar kultur hip hop itu sendiri. Rapper & lyricist ini merantau dari Medan dan kuliah di UNPAD Jatinangor, dan kedua skena Medan dan Jatinangor ini pun mulai membuka wawasan bermusiknya. Mari berbincang dengan Basboi mengenai Tyler the Creator, album-album hardcore favoritnya dan culture flexing di social media.
“Selalu ada tempat spesial di hati gue untuk brand keren, punya identitas tapi price point sesuai harga kantong street. Ya streetwear. Relevan, hadir di masyarakat. Bukan jadi brand elitist yang cuma mampu dibeli oleh kalangan ekonomi tertentu dan jadinya gak relevan dan gak sustain.“
Album “Adulting for dummiesâ€, yang dirilis tahun 2021 lalu banyak mendapat respon positif. Kalau lo menempatkan diri lo sebagai kritikus musik, review dan kritik apa aja yang akan lo katakan untuk “Adulting for Dummiesâ€?
Wow.. Pertanyaannya bagus banget hahahahahaha. Kalau gue jadi kritikus musik yaa.. Sulit banget hahahahah! Kalau gue jadi kritikus musik yang ngereview “Adulting For Dummies†i would say: “antar track secara musik, dijahit dengan narasi, tapi tidak secara “soundâ€. Kalau saja secara sound bisa lebih runut seperti narasinya, akan buat album ini lebih kohesif lagi. Itu aja kali yaa.. Bingung hahahaha…
Apakah lo sudah puas dengan album itu secara musikal?
Cukup puas. Gue bisa mainin dan explore semua jenis sound yang gue suka dari ragam referensi yang gue suka. Yang mana kebanyakan malah bukan hip-hop. Dan gue mainin itu sesuka hati gue. Dengan hasil akhir yang bisa dengan pede gue bilang tercipta kesan soundnya “Basboi†banget.
Kita sempat melihat lo berfoto bareng sama Tyler di Paris. Seberapa besar pengaruh Tyler di musik dan diri lo dan apa pendapat lo tentang Tyler?
Besar banget ya bisa gue bilang. Secara musik dalam artian “sonic†sih enggak banyak. Gue suka dia bukan dari aspek musiknya sih yang paling besar. Yang paling besar itu mindset dan visual sih. Mindset dalam artian Tyler itu adalah figur musik/seni pertama yang gue liat ga bisa dikategorikan. Maverik dan unorthodox. Dia rap, Hip hop tapi doesn’t look like one & doesn’t really sounded like one. Yang bikin gue kecantol banget awalnya sama dia adalah pas gue nonton video live nya Trash Talk. Judulnya Trash Talk 119. Ada dia dong, dan itu bikin gue kaya “anjing gue mah bebas mau dengerin apa aja, mau form self expression gue kaya gimanaâ€. Biar kata hal-hal yang gue sukai ga ada korelasinya, gak nyambung, ato kontradiktif justru itu yang bikin gue otentik. Sama kaya dia jadi otentik. Gue ga harus ngikutin format populer dari suatu bidang, misal hiphop harus begitu looks dan referensinya.
Mungkin gue outputnya hip hop, tapi gue sendiri ga se hip hop itu. Growing up gue malah dengerin musik punk/hardcore dan kultur skateboarding. Pop easy listening kaya Dewa, Radja, Tipe-X juga gue suka sampai Jason Mraz. Disaat gue tidak mengikuti format populer dari suatu bentuk, gue malah bisa jadi otentik. Udah ga penting musik gue hip hop, rap, metal, ya musik gue musik Basboi aja. Dan gue dapet mindset itu dari Tyler. Tyler juga inspires gue untuk gak ngebatasin diri gue dalam 1 format. Gue bisa bikin apapun yang gue mau dengan karakter kuat yang gue punya. Baju kah, presenting kah, ngelawak kah, apapun itu. No wonder he named himself the creator. Not the rapper, the musician.
“Gue sebisa mungkin mengusahakan diri gue terpapar sama banyak referensi yang luas dan bagus-bagus ajaâ€
Fashion lo cukup standout diantara rapper lain. Siapa saja fashion role model lo? Dan mungkin bisa sebutkan top 5 brand lokal favorit lo?
Udah pasti Tyler itu salah satu fashion role model gue. Tapi sebenarnya gue lebih ke certain look, karena sebenarnya ga ada satu orang yang gue patok semua looksnya gue jadikan acuan. Terkadang orang yang kita gatau siapa nongol di explore IG oh nice nih looks nya juga bisa. Gue sebisa mungkin mengusahakan diri gue terpapar sama banyak referensi yang luas dan bagus-bagus aja tanpa mematok si A, si B si C untuk jadi patokan gue.
Kalau untuk brand-brand lokal favorit gue saat ini Pot Meets Pop, gue suka sama spirit dan attitude nya. Sekarang gue lebih suka lagi karena mereka lebih ke general fashion items dan gak terlalu denim-deniman, soalnya gue juga gak segitunya pakai denim, pegel pak. Elhaus gue suka banget cara mereka maneuver dari awalnya denim jadi yang seperti sekarang. Secara branding gue sangat appreciate mereka bisa sustain market mereka dan bisa nembus pasar luar. Price mereka pun wajar sesuai dengan value produknya. Lo dapet apa yang lo bayar, bukan overpriced bullshit. Based Club dong pastinya, gue udah beli dari dulu sebelum di support. Dari jaman gue kuliah jaman di Jatos. 2014-2015 belum banyak brand lokal yang estetika nya soft, kebanyakan yang hitam-hitam galak gitu kan. Selalu ada tempat spesial di hati gue untuk brand keren, punya identitas tapi price point sesuai harga kantong street. Ya streetwear. Relevan, hadir di masyarakat. Bukan jadi brand elitist yang cuma mampu dibeli oleh kalangan ekonomi tertentu dan jadinya gak relevan dan gak sustain. Jadi geek club yang gak relevan dan gak hadir di masyarakat. Gue suka banget Play With Pattero. Jarang ada yang sentuh area itu, sekarang udah banyak pakaian rajut cowok kue, tapi mereka salah satu yang thriving banget dari awal. Keliatan mereka bukan riding the trend knitwear. Banyak brand yang riding the wave knitwear untuk quick cash, dan bukan untuk sustainability dan longevity. Anjayy ngomong apa sih gue.. Terakhir Voted Socks. Bagus banget bahannya dan enak banget dipakai. Bukan soal tagline, atau branding personality nya. Cuma ini sih no bullshit buat gue, udah aja bagus produknya top banget. Fungsional.
Tadi lo bilang growing up banyak dengerin musik punk dan hardcore. Gateway lo ke musik hc/punk awalnya dari mana? Sekarang lagi suka album apa aja yang masih di ranah hc/punk?
Medan in general music scene sampai sekarang ga gede. Dulu ada dominasi hc/punk. Madafaka Records cukup mendominasi di Medan, talent nya banyak ada Martyr, No One Cares. Sampai tur asia tenggara mereka tuh. Gue juga bikin band namanya Mind War. Belum band punk nya. Sebagai orang yang suka musik, dulu sangat mudah untuk terseret ke arus itu. Kalau untuk sekarang yang gue suka si Turnstile “Glow On†udah pasti. Terus ada OVLOV yang “Buds†entah punk atau engga itu, bingung juga gue genre sekarang. Itu dua jadi heavy rotation kalau spesifik hc/punk. Yang dulu-dulu masih gue denger sampai sekarang itu “Nothing to Prove†H20 dan “Songs to Scream at the Sun†nya Have Heart. Masih sering gue puter tuh sampai sekarang.
“Adulthood di mata gue soal kompromi sih. Seberapa jauh lo mau kompromi untuk apa yang mau lo kejar. Karena orang dewasa harus tanggung jawab dan gak akan bisa kalau ga punya disiplin, komitmen dan etos kerja.â€
“Adulting For Dummies†adalah judul yang menarik untuk sebuah album. How’s life and adulthood di mata Basboi?
Thank you man. Life’s been very good. Gue manggung sana-sini, tawaran lagi oke. It’s been very good lah, relationship aman, hubungan sama orang tua, teman dan orang-orang yang gue sayangin aman. Sama rekan-rekan bisnis juga aman. Adulthood di mata gue soal kompromi sih. Seberapa jauh lo mau kompromi untuk apa yang mau lo kejar. Gue dulu pengan ada di posisi gue sekarang tapi bangun siang melulu. Effortnya cuma lempar-lempar lagu terus berharap suatu hari pecah. Gak punya etos kerja dan disiplin. Ngorbanin waktu main untuk kerja adalah kompromi yang harus gue lakuin. Ternyata dengan melakukan itu hidup gue jauh lebih nikmat walaupun terasa berat di awalnya. Kompromi, konsisten dan komitmen, jawabannya lumayan normatif dan klise, cuma untuk adulthood jawabanya ya buat gue cuma kompromi. Kalau self-discovery itu kan pre-adulthood kan ya. Karena orang dewasa harus tanggung jawab dan gak akan bisa kalau ga punya disiplin, komitmen dan etos kerja. Begitu bree…
Lo juga sempat berkolaborasi dengan Noni di lagu “WRITTENINTHESTARSâ€. Gimana background collab itu terjadi dan tentang apa sih tema lirik lagu-nya?
Collabnya beneran Noni ngontak gue dan nanyain mau ga? KAta gue kirimin aja. Gue ngerasa cocok banget sama musiknya. Noni kirim jam 4 sore jam 6 udah beres gue tulis verse gue. Kalau dari Noni sih ini lagu tentang seorang cowok yang mungkin crush-nya dia. Kenapa harus malu-malu, secara zodiak kita sudah cocok. Kalau verse gue karena gue ga terlalu percaya zodiak, gue seperti ga penting juga soal zodiak, karena kita yang menentukan what is written in the stars. Kalau memang kita saling effort, dan itu bakal terjadi terlepas dari apapun yang tertulis di langit, kita yang nentuin nasib kita. Seperti di lirik “Nasib kita di tangan kita behind the wheelâ€. Kalau menurut zodiak lo bakal jadi orang sukses tapi kerja lo leha-leha, lo bakal jadi ampas selamanya..
Bagaimana pendapat lo tentang flexing culture di social media?
Sah-sah aja ya, seru-seru aja asalkan lo juga pantas buat flexing. Sorry to say, kalau lo masih di tahap token listrik bunyi atau isi bensin cuma sanggup 100rb ga sanggup full tank, tapi lo flexing pake sepatu 6 juta lo tolol sih. Kalau mau flexing yang sabi lah kaya gue foto sama Tyler hahaha!
Gue suka orang flexing yang punya basis achievement. Mostly gue suka flexing yang berbentuk prestasi ya, bukan materi. Tapi ada juga terkadang pencapaian materi lo itu pencapaian prestasi seperti “ini mobil pertama gueâ€. Tapi kalau yang kaya pemaksaan, hidupnya sulit tapi pakai Carhartt atas-bawah, padahal makan aja sulit. Itu ga masuk ke flexing sih lebih ke tolol aja..
Scene musik Jatinangor pada saat lo dulu tinggal di sana seperti apa?
Waktu gue tinggal di sana dulu band punk banyak, dan band kampus yang variatif banyak. Ada Breh and the Bangsat, Alzheimer Grind, Oscar Lolang dengan folk yang bukan format populer. Ada band-band punk kampus yang absurd banget, ada The Panturas, si Gogon basisnya The Panturas juga punya band orkes komedi, tapi rap kayaknya cuma gue doang di Jatinangor, dan emang belum populer juga. Terlepas dari apapun, yang paling gue suka dari scene Jatinangor itu adalah mereka tetap support gue walaupun mereka gak ngerti musik gue. Jadi itu juga ngasah skill gue kaya bermusik ya bermusik aja. Secara natural gue juga nongkrongnya sama anak band. Dan gue juga lebih senang terasosiasi sama anak band dan musisi. Bukan cuma sekedar showmanship “ah ah, yeah yeahâ€. Dan gue jadi lebih bisa menghargai inklusivitas.
Top 5 Kuliner Medan favorit lo?
– Bihun Kari RM Tabona
– Mie Bangladesh Warkop AGEM Senyum Ketawa
– Kwetiau Akuang
– Dimsum Nelayan
– Srikaya Medan
Seberapa sulit menulis lirik Indonesia menurut lo?
Awalnya gue pikir sulit ternyata gak sulit sama sekali. Orang pikir susah karena gampang cringe. Ya emang lo nya aja nyembah bule. Lirik bule aja banyak banget yang cringe dan ketahuan gak sekolah. Karena kita udah kepatok standar bule jadinya gampang jijik sama lirik Indonesia. “Ihh alay, ihh katroâ€. Ga norak nyet, itu emang kita aja kaya gitu. AKan lebih mudah nulis lirik Indonesia kalau menurut gue dengan manner seperti lo biasa ngomong. Lirik gue ga pakai bahasa baku dan sastrais. Tapi gue lebih ke diksi-diksi dan pelafalan seperti gue ngomong Medan sehari-hari. Ya gue akhirnya menulis lagu dengan manner sehari-hari gue berbicara. Liat aja Slank ngomong sehari-hari gitu lirik nya gitu juga. Karena menurut gue itu bahasa ibu dan sudah pasti lebih mudah untuk kembali ke dasar dibanding menjadi yang lain, kalau menurut gue.
Track terakhir di album lo judulnya “Bismillahâ€. How religious have you gotten throughout the years while making music?
Not much ya bisa gue bilang hahaha. Religiously speaking, i’m just the same man as before. With all the flaws and law-breaking juga. Bismillah itu lebih ke berharap dan berdoa untuk apapun yang gue lakukan. Seperti orang kaya gue juga pantas untuk berdoa, memohon kelancaran dan meminta belas kasih Tuhan. Dan berbangga akan hubungan lo sama Tuhan itu gak harus setelah lo religius, jidat hitam dan celana ngatung. Atau dalam format terkesan religius dalam konteks budaya bebas lain. Sekotor-kotornya lo tuh berhak punya hubungan spesial dengan Tuhan lo. Gak harus jadi suci dulu. Mungkin secara religius not much, tapi secara spiritual gue lebih in tune aja with myself and with my creator. Juga dengan sesama. Habluminallah habluminannas. Yo’i.
Words & interview by Aldy Kusumah
Photos from Basboi’s IG & Archives