Skandal adalah Yogha Prasiddhamukti (vokalis, tamborin), Rheza Ibrahim (gitaris), Robertus Febrian Valentino (gitaris, vokalis), dan Argha Mahendra (drummer). Sebuah unit indie-rock dari Yogya yang tentunya sudah mempunyai beberapa single yang melekat di hati para penggemarnya. Para personilnya tumbuh mendengarkan lagu-lagu radio dan TV di awal akhir ‘90an dan awal ‘2000an, yang tentunya didominasi band-band pop rock Indonesia, jauh sebelum mereka mengenal style musik yang lebih beragam lagi seperti indie rock yang didominasi oleh guitar music seperti: Superchunk, Teenage Fanclub, Lemonheads dan The Replacements. Sebentar lagi mereka akan merilis sebuah album bertajuk “Melodi” yang menggabungkan dua spektrum tersebut. Sebuah sweet spot diantara pop rock radio hits dengan DNA musik indie rock dan alternative rock. Let’s have a chat with the boys from Skandal..
“Album ini yang ngegabungin dua spektrum tersebut, nemu titik tengah antara pop rock radio dengan DNA musik indie rock dan alternative favorit kami.”
Halo Skandal! Dengar-dengar sedang mempersiapkan album “Melodi” ya? Sudah berapa persen progressnya? Bisa elaborasi sedikit tentang konsep dan proses pembuatan album ini?
Siddha: Halo Jeurnals! Iya benar, kami sedang dalam proses nyelesaiin album Melodi nih, lumayan seru sekaligus challenging karena ini sebenarnya adalah debut album penuh kami, setelah sebelumnya hanya ngeluarin EP dan single-single saja. Prosesnya bisa dibilang sudah 75% lah, kurang lebih.
Kalau ngomongin proses, sebenernya rencana bikin album udah ada sejak lama, tapi baru bener-bener mulai tuh pertengahan menjelang akhir tahun 2023 kemarin. Kebetulan juga, kami beruntung bisa dapet label, Disaster Records, dan dibantu banget sama mereka supaya bisa jalan rekaman. Proses rekamannya agak unik. Sebagian besar materi udah siap dari lama, tapi juga ada yang digarap sembari jalan rekaman. Butuh effort lebih memang, cuma kami bisa dibilang menikmati prosesnya. Kami jadi belajar satu sama lain lagi soal songwriting, desain sound, dan banyak hal lainnya, termasuk relasi antar personel. Prosesnya jauh lebih berkembang dibanding sebelumnya.
Konsep album Melodi sebenernya sederhana. Kami mencoba untuk merangkum kecintaan kami akan musik-musik gitar yang jadi first musical interest kami dulu, yaitu style musik yang kalau diinget-inget, dulu bikin kami masing-masing pengen ngeband at the first place–music we grew up listening to, kind of thing. Lebih ke ngegabungin perasaan nostalgic dengan sentuhan kami sendiri based on musik yang udah kami bikin sebelumnya, sepanjang perjalanan band ini. Di sini kami juga coba mengeksplor kemungkinan lain, nyoba nulis lagu dengan sense pop yang kuat, dan sebagainya. Buat kami, album ini adalah tentang menyampaikan rasa yang majemuk dan ngerayain dualitas dalam tiap aspek kehidupan, senang dan sedih; puas dan kecewa; dan lainnya.
Apakah single-single seperti Terbang, Lemon, Bosan dan Percuma akan masuk juga ke album ini?
Siddha: Materi kami di album mendatang adalah materi baru semua, termasuk empat lagu yang ada di EP Dengar yang baru rilis tempo hari. Single-single terdahulu nggak akan masuk, karena memang mereka udah jadi materi yang berdiri sendiri, dan kami sebagai musisi juga pengen nge-push sejauh mana kami bisa terus menciptakan karya-karya baru, nggak hanya bergantung sama lagu-lagu lama saja. Ditambah, banyak materi baru yang sayang kalau nggak digarap dan dirilis. Tapi, ada satu single terdahulu yang bakalan diaransemen ulang untuk versi albumnya. Tunggu aja.
Beberapa single terakhir kalian dan tentunya yang “Mimpi” ini terdengar lebih effortless dan straightforward guitar rock ya. Tetapi diluar dari DNA musik indie rock Amerika / Inggris, gue masih mendengar unsur alternative pop seperti band-band Indonesia era ‘90an. Secara direksi musik apa yang kalian tuju di album “Melodi” ini? Apa yang membuatnya berbeda dari EP “Sugar” atau beberapa single sebelumnya?
Siddha: Seperti yang sempat saya bilang tadi, kami nyoba nulis lagu yang jadi semacam ode untuk kecintaan kami akan musik-musik gitar yang jadi ketertarikan musikal pertama kami, ketika dulu kami mulai ngeband atau bahkan lebih jauh lagi ketika remaja, masing-masing dari kami tumbuh mendengarkan lagu-lagu lewat radio dan TV di awal akhir 90an dan awal 2000an, yang didominasi band-band pop rock Indonesia, jauh sebelum kami mengenal style musik yang lebih beragam lagi. Album ini yang ngegabungin dua spektrum tersebut, nemu titik tengah antara pop rock radio dengan DNA musik indie rock dan alternative favorit kami. Kalau dibandingin sama rilisan sebelumnya, saya pikir materinya lebih eklektik, ada yang energik dan upbeat, mid-tempo yang punchy, dan ada lagu slow di antaranya. Sound album ini lebih tergarap dengan baik, songwriting tetap simple tapi mungkin lebih solid. Di sisi lain, secara keseluruhan materinya juga jadi lebih crunchy, melodic, dan in general, poppier. And of course, more big hooks!
Lyrically, kalian salah satu band lokal yang berani menggunakan lirik straightforward dan gaya bahasa ringan tapi tetap terdengar cool dan tidak cheesy. Bagaimana proses kalian menemukan ramuan yang tepat dalam menulis lirik bahasa?
Siddha: Saya nggak tau apakah saya sudah bisa menemukan “ramuan tepat” atau belum, tapi terima kasih jika terdengar seperti yang Anda bilang. Saya pikir, saya juga dibantu banget sama aransemen lagu buatan Rheza atau Robert yang udah kedengeran enak duluan. Jadi, tinggal ngepasin lagi dengan liriknya, dan bikin nada enak. If it sounds good, the lyrics will follow, I guess.
Kalau buat saya sendiri, sebagai penulis lirik utama, selain Robert, prosesnya lumayan berasa ya, terutama ketika akhirnya beralih untuk mencoba menulis semua lirik dalam bahasa Indonesia, bahasa ibu sendiri. Dari yang ngerasa aneh sendiri, lalu mencoba kemungkinan diksi lain, hingga pada akhirnya yang dipakai adalah yang keluar sejujur dan senatural mungkin. Saya selalu suka lirik yang sentimentil, melankolis, tapi di satu sisi juga yang rasanya bersahaja dan ringan, dan itu bisa jadi secara nggak langsung saya terapkan ketika nulis lirik buat band ini.
Tentunya energi Teenage Fanclub, Superchunk, Sheila on 7 dan Oasis terdengar di lagu-lagu kalian, tetapi kalian mampu meramu semua influence menjadi racikan yang Skandal banget. Akhir-akhir ini, 5 lagu yang ada di playlist kalian apa aja sih?
Siddha: I’ll make it ten,
Three – “Swann Street”
Wilco – “I’m Always in Love”
Superstar – “Barfly”
Padi – “Bidadari”
Gigolo Aunts – “Everyone Can Fly”
Primal Scream – “Everybody Needs Somebody”
Sugar – “Believe What You’re Saying”
Firstrate – “Springtime”
Ex-Vöid – “Boyfriend”
Tossing Seed – “When You Come Around”
Rob: Teethe – “ Lucky “
The Db’s – “Love is for Lovers”
Blair – “By the C”
Milly – “ Grab the Wheel”
The Ergs! – “180 Emotional Ollie”
Texas Is the Reason – “Blue Boy”
Netral – “Sibuk”
Rheza: Laura Day Romance – “Sad Number”
Dr. pm – “Esok Bangunkan Aku”
L’Arc-en-Ciel – “Link”
Travis – “Closer”
Carpark North – “More”
Untuk departemen artwork cover single dan merch banyak dikerjakan oleh Rob. Seperti apa kalian ingin merepresentasikan Skandal terlihat secara visual? Baik dari asset grafis, foto band, fashion dan video klip kalian?
Siddha: Biasanya creative direction-nya saya yang nge-handle, dan memang banyak back to back dengan Rob untuk urusan ilustrasi jika dibutuhkan. Kadang pake ilustrasinya Rob, kadang temen-temen lain.
Dari dulu, saya udah tahu kalau saya pengen bikin pendekatan visual yang eye-catching, dengan palet warna bold dan bright serta pemilihan font tertentu untuk ngelengkapin musik kami yang poppy; semuanya dipengaruhi oleh estetika 90an yang kami gandrungi, mulai dari visual di rilisan musik era itu sampe ke banyak hal lainnya di ranah subkultur. Tentunya, tanpa mengesampingkan identitas kami sebagai band era sekarang.
Untuk urusan presentasi visual, jujur selama ini kami ngasih effort dan kepedulian yang sama seriusnya dengan ketika kami bikin lagu. Entah itu untuk layout dan artwork rilisan, foto band, estetika video musik, sampe desain merchandise, karena bagi kami, itu udah termasuk dalam paket karya audiovisual sebuah band, yang nggak bisa dipisahin. Jadi, terima kasih atas pertanyaan ini.
“Udah mager euy nginjek-nginjek pedal kebanyakan, hahaha, pengennya jreng maen aja sambil nyanyi gitu.”
Untuk para gitaris Rob dan Rheza, bisa sedikit menceritakan loop efek dan setting ampli kalian untuk para pembaca gearheads? Sound gitar seperti apa yang ingin kalian beri untuk pendengar?
Rob: Biasanya dulu kalau ampli selalu pake Roland Jazz Chorus karena soundnya kerasa jujur banget buatku, plus clean-nya enak banget. Cuma, sekarang udah nggak pernah pake ampli lagi alias udah direct semua. Buat loop efek dari gitar langsung ke pedal overdrive trus masuk ke multi fx (buat cab sim, mic dan beberapa modulasi kecil buat keperluan lead) berakhir di pedal cab sim lamaku yang sekarang perannya udah ganti jadi semi-direct box sebelum nyambung ke mixer dan ke FOH. Sebenernya nggak pengen nyari sound yang heavy dan bising lagi sih, sekarang malah pengen yang crunchy aja, dengan harapan pas dan tepat guna aja untuk ngewakilin sound-nya Skandal saat ini. Terdengar poppish tapi crunchy here and there, dan sopan di kuping aja kalo bisa. Sesimpel pedal overdrive dengan ampli combo atau head cabinet dengan settingan clean tapi rada crunch itu aja udah cukup buatku. Udah mager euy nginjek-nginjek pedal kebanyakan, hahaha, pengennya jreng maen aja sambil nyanyi gitu.
Rheza: Kalau ampli biasanya pake Marshall JCM 900 atau Fender Deluxe 90. Cuma sekarang udah langsung direct pake amp simulator NUX Solid Studio. Efek yang dipake sih tergolong sederhana ya, menyesuaikan kebutuhan lagu-lagu di Skandal aja: tuner Polytune 3 (tc electronic), overdrive OD 3 (boss), distorsi Tone Bone (radial), delay Carbon Copy (MXR), dan amp simulator Solid Studio (NUX). Saya pengen sound yang cenderung distortif tapi masih dalam koridor warm dan tetep ada sensibilitas crunch-nya.
Nama band kalian cukup menarik. Skandal apa saja yang pernah kalian alami sebagai band atau individu?
Siddha: Bikin dan ngejalanin band ini sampe sekarang kayaknya salah satu skandal dalam hidup saya, deh, hahaha! Lainnya seinget saya nggak ada, atau ya nggak bisa dibahas di sini, LOL.
Rob: Nggak sampe skandal sih, tapi momen random aja, kayak joget di dalem ATM pas malem-malem mau ambil duit, cuma lupa kalo ada CCTV. Semoga aja nggak diambil ataupun diupload di kompilasi rekaman awkward CCTV, hahaha!
Rheza: Skandal asmara waktu masih lajang dulu, hahaha!
Kalau tidak salah Sid tinggal dan bekerja di Jakarta sedangkan personil lain berbasis di Yogya. Bagaimana kalian workshop, latihan atau rekaman? Misal ada panggung di Bandung, apakah kalian latihan dadakan dulu di kota tersebut sebelum manggung?
Siddha: Kalau dulu, begitu. Bolak balik antara saya ke Jogja untuk latihan (kalau manggung di Jogja), atau ya latihan dulu di kota tempat manggung. Workshop pun saya jarang ikut, paling hanya via online untuk presentasi lirik dan sebagainya. Ketika saatnya rekaman, baru saya pulang ke Jogja, dan seterusnya. Tapi, setelah sekarang saya memutuskan untuk balik lagi ke Jogja setelah 12 tahun tinggal dan kerja di Jakarta, salah satunya karena sedang menggarap album ini, ya jadi lebih enak untuk urusan band karena lebih fleksibel dan dekat jaraknya, udah sekota lagi.
Pertanyaan terakhir: Top 5 food spots di Yogya atau Jakarta menurut masing-masing personil dan alasan nya!
Siddha: Kalau di Jakarta banyak banget, tapi yang udah jadi kuncian banget dan deket sama tempat tinggal saya dulu adalah Pecel Boma Fatmawati dan Ayam Jeletot Bonsar. Kalau di Jogja itu Sego Telkem Mbak Nur, Cookroom Burger, RM Terang Mulyo, dan Bakmie Petbun. Terlalu banyak food spots favorit di Jogja, hahaha!
Rob: Di Jogja, yang jadi favorit saya ada BPK Lima Serangkai, Cookroom Burger, Siomay Shinchan, RM Baru, dan Bakso Jawi.
Rheza: Siomay Kang Is, Omah Kluwih, Cookroom Burger, Soto Pak Dalbe, dan Roka Ramen.
Words & interview by Aldy Kusumah
Photos from Skandal’s archives