Majelis Lidah Berduri adalah nama baru yang diusung oleh band legendaris asal Yogyakarta, sebelumnya dikenal sebagai Melancholic Bitch. Setelah lebih dari dua dekade berkarya, mereka memutuskan untuk melakukan transformasi identitas sebagai bentuk refleksi terhadap perjalanan panjang mereka di dunia musik. Mari simak perbincangan Jeurnals dengan Melbi mengenai proses kreatif, filosofi di balik nama baru mereka, serta bagaimana Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk musikalitas Majelis Lidah Berduri
Apa alasan utama di balik perubahan nama dari Melancholic Bitch menjadi Majelis Lidah Berduri?
Richardus Ardita: 1. karena formasi baru 2. media-friendly
Yossy Herman Susilo: 1. Seperti mas didit.. formasi baru, bosen juga nama yg lama.. Hehe
Yennu Ariendra: Nggak tau aku, aku sih setuju aja
Paulus Neo: Mungkin, karna formasi baru. Eh gatau ding
Danis Wisnu: Agar ramah publikasi, penyelenggara dan sponsor ;)))
Ugo Prasad: Iya gitu
Setelah merubah nama, sebenarnya apa yang Melbi harapkan?
Richardus Ardita: Menambah pendengar
Yossy Herman Susilo: Tidak menjadi band mitos
Yennu Ariendra: Juga nggak tau
Paulus Neo: Sama kayak mas (YA)
Danis Wisnu: Biar kalau pamit sama orang rumah lebih enak aja, biar ga canggung
Ugo Prasad: Gitu boleh
Bagaimana pendapat dari para pendengar yang lebih dahulu mengenal nama Melancholic Bitch?
Richardus Ardita: Beberapa kurang setuju, beberapa setuju
Yossy Herman Susilo Beberapa tidak setuju, beberapa setuju, sebagian tidak peduli 🙂
Yennu Ariendra: Beberapa orang merasa aneh, tapi seiring dengan berjalannya waktu itu tidak menjadi masalah
Paulus Neo: Belum pernah mendengar pendapat tentang nama
Danis Wisnu: Ndak tau, tapi apapun itu toh kita lahir tidak untuk menyenangkan semua orang apalagi yang hanya sebagian.
Ugo Prasad: Betul
Majelis Lidah Berduri terdengar seperti memadukan berbagai genre seperti rock, folk jazz, dan unsur lokal dengan lirik yang penuh kritik sosial. Bisa jelaskan bagaimana proses kreatif Melbi dalam menciptakan lagu untuk Majelis Lidah Berduri?
Richardus Ardita: 1. Jam session 2. Salah satu personil menawarkan lagu dengan aransemen yang sudah jadi, kemudian personil lain mengisinya.
Yossy Herman Susilo Biasanya kita sesi studio
Yennu Ariendra: Tidak terlalu memikirkan tentang genre, penggarapan musik disesuaikan dengan imaginasi yang diciptakan oleh lirik. Lirik menciptakan sebuah dunia yang komplek dan dari sanalah unsur unsur musiknya ditemukan. Tidak ada pembicaraan tentang genre sebelumnya.
Paulus Neo: Di studio ngejam dari 0 (mentah), atau mengolah ide yg sudah ada sebelumnya. Tapi semuanya diolah tanpa menghilangkan karakter masing2 person dan diselaraskan dengan maksud dari lirik. Tidak terkotak genre dan tidak terkotak teknik ataupun skill.
Danis Wisnu: Sing penting jujur aja, ga nuruti orderan algoritma viral
Ugo Prasad: Kayaknya ya standar band-bandan biasanya
Bagaimana peran latar belakang artistik antar personil yang berbeda, dalam membentuk musik Melbi?
Richardus Ardita: Perbedaan latar belakang artistik membentuk musik yang kaya ragam dan mengembangkan kemampuan adaptasi dan improvisasi personil.
Yossy Herman Susilo: Cukup menguntungkan..kadang muncul hal hal yg mengejutkan di setiap komposisi
Yennu Ariendra: Menurutku, Setiap anggota band memiliki kecenderungan, selera dan bahkan keahlian yang berbeda. Namun disini, kita berpegang pada dunia imaginasi yang diciptakan lirik, jadi itu memudahkan kita untuk tau batasan batasan dan tahu dimana kita memposisikan diri kita sendiri ketika berkarya. Menurutku juga kita tidak asal mencampur selera masing – masing, tetapi sepakat untuk menempuh sebuah perjalanan menyusuri konsep ini bersama sama dan menemukan perca musik satu persatu.
Paulus Neo: Sudah terwakilkan dijawaban pertanyaan sebelumnya
Danis Wisnu: Ya namanya ada 5 orang lebih, janjian masak yang satu bawa terong satunya bawa daging satunya bawa badan aja. Bisa di bayanginkan ya.. Btw saya bagian bawa badan aja.
Ugo Prasad: Saya sama dengan Neo
Banyak lirik Melbi yang terasa puitis sekaligus penuh kritik tajam. Apakah ada proses tertentu dalam memilih kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan pesan Melbi?
Richardus Ardita: Ugo lebih kompeten untuk menjawab ini.
Yossy Herman Susilo: Biasanya Ugo melakukan ritual bertapa
Yennu Ariendra: Penulisan tanggung jawab Ugo, soalnya lainnya tidak ada yang mampu. Tetapi, secara konsep kita mengembangkan liriknya bersama sama (bukan pada penulisan tetapi menentukan arah dari konsep tersebut). Kita sama sama melihat apa yang kurang dan apa yang keterlaluan.
Paulus Neo: Mas Ugo aku padamu
Danis Wisnu: Waktu dan tempat kami persilahkan kepada bapak ugoran prasad, monggo
Ugo Prasad: Saya biasanya aja, nulis dari kiri ke kanan sama kayak orang berbahasa Indonesia lainnya. Prosesnya ya dipikir-pikir, dicoba-coba sampe enak. Kalo mentok baca buku nonton film, denger musik, jalan-jalan. Kalo masih gak nemu ya diulangi dari awal. Ya biasanya aja. Bertapa ya bisa juga, tapi biasanya itu untuk belajar nyantet.
Seberapa besar kekuatan lirik pada sebuah lagu?
Richardus Ardita: Untuk Melbi 100%
Yossy Herman Susilo: Turun dikit lah ..75%
Yennu Ariendra: Susah menentukannya, apa yang tidak tertulis di lirik diwakili oleh musik, jadi pada akhirnya semua saling melengkapi
Paulus Neo: Musik 100%, lirik 100%
Danis Wisnu: Lirik itu hook sebuah lagu, musik membantu menjadikan abadi untuk didengar terus menerus.
Ugo Prasad: Jangan di inflasi begitu. Ya kira2 23,2 %.
Apakah tema atau isu tertentu di dalam lirik yang Melbi ingin sampaikan harus sampai ke pendengar selaras dengan maksud dari liriknya?
Richardus Ardita: kami hanya mencoba menyampaikan dengan sepenuh hati & tenaga, untuk penerimaan tergantung dari penerimanya.
Yossy Herman Susilo: Nggak juga
Yennu Ariendra: Lirik di album ini sebenarnya lebih ke puisi. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan sebuah puisi. Pendengar akan paham atau tidak, atau selaras dengan pemahaman penciptanya, itu hal yang sulit dijawab. Puisi menciptakan ruang imaginasi yang bagi pendengar mungkin tidak dipahami sama sekali, atau justru maknanya berkembang, karena pendengarnya memiliki imajinasi yang lain. Secara pribadi aku tidak memikirkan apakah Lirik bakal dipahami atau tidak, tetapi aku punya keyakinan, lirik tersebut akan menjadi bahan diskusi yang baik buat publik
Paulus Neo: Dikembalikan ke publik
Danis Wisnu: CMIIW setahuku kalau karya sudah dilempar ke publik ya mau ga mau karya itu sudah milik publik, mau saklek segimanapun pasti jatuhnya akan multitafsir.
Ugo Prasad: Bukan puisi deh. Ya awalnya karena teman2 dekat pergi duluan. Tapi ya sejak awal emang udh banyak yang meninggal pas di waktu Covid kan. Semakin lama semakin melebar temanya. Dari tema kematian dari kacamata personal ke kacamata antar-person. Ya kami cerita ttg itu. Tapi tetep, liriknya gak puisi. Kecuali yang emang puisinya Chairil dan Cindhil
Apakah pernah menghadapi ancaman akibat tema-tema berani dalam lagu-lagu Majelis Lidah Berduri?
Richardus Ardita: Setahu saya belum
Yossy Herman Susilo belum
Yennu Ariendra: Mungkin ada
Paulus Neo: Aman aja
Danis Wisnu: Kayaknya pernah deh, hampir ga boleh manggung waktu di makassar! Itu dikasih tau setelah setahun dari acara
Ugo Prasad: Hehe
Beberapa waktu lalu Majelis Lidah Berduri menyelenggarakan sesi dengar album baru “Hujan Orang Mati”, judul yang menarik. Bisa sedikit elaborasi mengenai album “Hujan Orang Mati?
Richardus Ardita: Berawal dari kepergian beberapa teman dekat, kemudian karena penggarapannya memakan waktu lama, tema berkembang merespon kondisi masyarakat terkini.
Yossy Herman Susilo: idem 👆
Yennu Ariendra: Semua anggota band sebenarnya punya interpretasi lain atas album ini. Aku sih soal ketakutan dan kecemasan dalam konteks sekarang (situasi politik lokal-global, isu lingkungan, friksi antar kelas di dalam masyarakat, dsb). Kegelisahanku ada di dalam lirik-lirik di album ini.
Paulus Neo: Idem 👆🏼
Danis Wisnu: Mati yang paling menakutkan adalah mati yang kamu masih hidup tapi tidak mampu berbuat apa-apa, sisanya setuju sama pakdhe pakdhe diatas.
Ugo Prasad: Iya, begitu.
Hujan Orang Mati album penuh ke 4 yah? Butuh berapa lama untuk merampungkan album ini?
Richardus Ardita: sekitar 1,5 tahun lebih sedikit.
Yossy Herman Susilo idem 👆
Yennu Ariendra: 2 tahun lebih ah
Paulus Neo: 2 tahun lebih tapi dikit aja
Danis Wisnu: Semenjak pamitnya pak djaduk, mas gendel dan mas cindil, tepatnya berapa ga tau aku selalu gagap soal menghitung.
Ugo Prasad: dari pengumuman nama 2 tahun lebih dikit. Tapi kayaknya bener Didit soal titik mulai garapnya.
Ketika band-band pada saat ini lebih memilih untuk merilis single – single yang banyak baru rilis album, kenapa Majelis Lidah Berduri lebih memilih untuk merilis Album?
Richardus Ardita: Mungkin karena di melbi banyak yang sudah berumur
Yossy Herman Susilo ya krn single juga sdh di rilis.. album rilis juga
Yennu Ariendra: Kenapa nggak? Secara global, album masih relevan (khususnya bagi artist artis papan bawah, kalo artis papan atas kan sudah cukup dari single). Kita mah tau posisi sebagai band underground
Paulus Neo: Single udah, saatnya album, mungkin
Danis Wisnu: Pencapaian sebuah band itu adalah album, perkara bagus atau tidak, perkara laku atau tidak tapi saya masih mengamini itu. Semoga tidak berubah ya semenjak gerai musik digital isinya cuma playlist lagu/single bukan playlist album. (read : Spotify)
Ugo Prasad: kebiasaan aja.
Dari album Anamnesis (2005), Balada Joni Susi (2009) dan NKKBS Bagian Pertama (2017) untuk Hujan Orang Mati ini ada cara atau trik tersendiri nggak untuk “memasarkan” albumnya?
Richardus Ardita: Kami mencoba menjualnya di bandcamp & storefront terlebih dahulu untuk beberapawaktu, sebelum dilepas di gerai musik digital.
Yossy Herman Susilo idem👆
Yennu Ariendra: Idem
Paulus Neo: Idem
Danis Wisnu: Selain diatas, kayaknya melbi udah mulai lebih peduli sama rumahnya di instagram dll.. Jadi ga cuma update setahun sekali sekarang.
Ugo Prasad: Kalo memasarkan pake tanda petik anak melbi pada gak bisa jawab. Bisanya kami ya maen musik.
Bagaimana kota dan budaya Yogyakarta mempengaruhi musikalitas Majelis Lidah Berduri, dan apakah merasa itu memberikan perspektif yang unik dalam melihat skenamusik Indonesia?
Richardus Ardita: Banyak musisi di Jogja yang menginspirasi secara personal. Setiap daerah punya keunikan skena musiknya masing-masing yang bagi saya itu menjadi pengayaan perspektif.
Yossy Herman Susilo: idem 👆
Yennu Ariendra: Berpengaruh kayaknya, karena di Jogja orang bisa mengkritik, berghibah, saling ngatain tanpa kita merasa sakit hati, menurutku itu justru jadi modal untuk memperkaya wawasan. Aku tidak merasa kita bagian dari apa yang disebut sentral, jadi seluruh standar ditentukan dan diciptakan sendiri, ya begitulah band pinggiran.
Paulus Neo: Idem
Danis Wisnu: Secara sepihak aku bilang kalau jogja itu adalah laboratorium.. Jadi kalau sampai kejogjaannya tidak dimaksimalkan ya rugi deh sepertinya.. Banyak yang bisa di captured di kembangkan dengan lintas disiplin antar seni jadi berprosesnya ga membosankan, bikin musik pake term seni rupa & teater, misalnya.
Ugo Prasad: Batas batas disiplin seni kayaknya juga gak terlalu kaku, bisa selonongan ke seni rupa, teater, pentas ketoprak, tari, jathilan dll.
Penampilan live Majelis Lidah Berduri terasa penuh emosi. Seberapa besar peran visual dan konsep artistik dalam setiap penampilan live?
Richardus Ardita: Besar, karena itu membangun emosi dasar & perspektif personil sebelum naik panggung.
Yossy Herman Susilo: Cukup besar karena konsep artistik selalu menjadi pijakan awal personil
Yennu Ariendra: Masak sih, perasaaan normal-normal saja waktu naik panggung
Paulus Neo: Ada ngga adapun, kita tetap emosional, entah apapun penyebabnya
Danis Wisnu: Inderakan bukan cuma pendengaran ajakan ya, ada penglihatan baru indera perasa (tidak secara harafiah) dll. Ya memenuhi kebutuhan indera saja meski sak madyone.
Ugo Prasad: Betul, pertumbuhan emosinya terhambat ya, gampang emosian.
Dari kacamata sebagai penampil, festival musik seperti apakah yang bagus dan ideal untuk dikunjungi?
Richardus Ardita: Yang nggak terlalu banyak penampil, supaya bisa mencerna dengan baik setiap pertunjukan.
Yossy Herman Susilo: Karena saya basicnya audio, ya festival musik yang produksi audionya bagus
Yennu Ariendra: Idem sama RA dan YHS
Paulus Neo: idem mas YN
Danis Wisnu: Yang penampil dan enthusiast diberi porsi dan kenyamanan sama.
Ugo Prasad: yang baik sama penonton dan penampil. Baiknya gimana, jawabannya juga gak bisa macam2. Jenis musik aja gak satu masak jenis festival cuma satu.
Di tahun 2024 ini pertama kali yah tampil di Joyland? Sebelumnya sempat denger tentang Joyland?
Richardus Ardita: Pertama kali main di Joyland. Pernah mendengar sebelumnya.
Yossy Herman Susilo: Iya.. udah denger lama
Yennu Ariendra: Idem dengan YHS
Paulus Neo: Udah
Danis Wisnu: Iya ini tahun pertama menjadi penampil, 2 tahun lalu ke joyland tapi jadi tim produksinya Frau (usung-usung stand dan ngolor kabel)
Ugo Prasad: Ya sering denger
Apa hal spesial yang disiapkan oleh Majelis Lidah Berduri sebelum akan tampil di Joyland Festival?
Richardus Ardita: Pentas perdana album baru.
Yossy Herman Susilo: Full album Hujan Orang Mati
Yennu Ariendra: Idem
Paulus Neo: HOM
Danis Wisnu: Majelis LIdah Berduri – Hujan Orang Mati set (paket rombongan 20 orang lebih)
Ugo Prasad: latihannya capek, 2 sesi dari pagi smp malem. Untungnya gak cuma sm orang-orang ini. Awas kalo gak nonton.
Teks & Interview by Firman Oktaviawan