Tentunya band baru dan berbahaya dari Palembang ini akan sangat dinantikan rilisannya dan performanya. Trio punk/hardcore ini dibentuk oleh Lör (vokal) , Måm (gitar), dan Yix (drums), dan sebenarnya embrio ini sudah tercipta sejak tahun 2019 dengan melewati pergantian nama band, dan personil. Bermain di ranah hardcore punk, para personil CRITICAL ISSUES juga terlibat di band-band lain, seperti Manekin, Egoism, Disaffer, Justice, dan Dètention. Mari berbincang dengan CI mengenai Polisi, pempek dan Pasal 285 KUHP
“Yah kadang ide kreatif kan enggak bisa dieksekusi dalam satu band, yang kalau dipaksakan malah bisa terkesan maksa. Maka itu mendingan bikin band yang lain.â€
Kata Pelor, ngumpulin personil Critical Issues agak sulit karena “graveyard shift” beberapa personil. Kesibukan diluar main band masing-masing apa saja? Apakah kalian band nokturnal yang hanya bisa beraktivitas pada saat jam tidur?
Lör: Ahahaha bukan sulit hanya untuk menjadwal waktu wawancara dengan personil lengkap yang bisa sinkron dengan waktu kerja redaksi Jeurnals mungkin agak sulit karena ritme kerja dan aktivitas harian dari kami. Aku di siang aktif di radio tempat aku kerja, dan malam kadang masih suka ada kerjaan freelance. Jadi waktu komunikasi kami pun memang suka ajaib, begitu pagi eh pagi banget, begitu malam dini hari.
MaÌŠm: Bener sih, karena aku memang banyak aktivitasnya malam, mengerjakan artwork commission dan desain grafis. Jadi waktu aktifnya sangat random ahahaha.
Yix: Kalau aku ya kebetulan bekerja di hotel yang ada tiga shift kerja, dan kerap kebagian jadwal malam hingga pagi.
Kenapa menggunakan nama singkatan seperti Måm, Yix, & Lör? Apakah agar terdengar lebih cool? hahaha
Måm: Nah, kalau itu bisa dibilang idenya Lör.
Lör: Sebenarnya bukan untuk keren-kerenan sih, tapi hanya sebagai pseudonim yang bisa membedakan identitas kami dengan keterlibatan personil Critical Issues di band lainnya. Dan, kebetulan panggilan singkat dari nama kami bisa ditulis dengan tiga huruf, konsonan – vokal – konsonan.
Yix: Dan ide itu kebetulan pas dan cocok sih.
Diluar CI, para personil bermain musik di band Manekin, Egoism, Disaffer, Justice, dan Dètention. Apa yang membuat CI berbeda dengan band-band kalian yang lain? Apa yang tidak bisa kalian salurkan di band-band lain sehingga harus membentuk CI dan merilis sesuatu?
MaÌŠm: Secara musiknya memang tiap band yang aku terlibat musiknya berbeda, walau masih berada dalam lingkup hardcore punk. Band yang satu dengan lainnya style musiknya berbeda. Memang lebih ke eksplor mainkan style yang beda di tiap band. Manekin memainkan power violence, dan Egoism memainkan hardcore punk yang terpengaruh band macam Lux, City Hunter, dan Blazing Eye. Kalau Critical Issues dari awal ketika aku memulai memang mau bikin band dengan pengaruh d-beat, khususnya ala band hardcore punk dari Boston yang terpengaruh hardcore Swedia seperti Green Beret, Bloodkrow Butcher, Koward, dan sejenisnya lah.
Yix: Waktu MaÌŠm mengajak bergabung dengan Critical Issues, aku berminat karena musiknya berbeda dengan bandku yang lain, Disaffer itu main straight up hardcore, dan di Justice musiknya lebih ke hardcore punk seperti Scowl. Jadi seperti MaÌŠm, aku semacam mencoba eksplor sub genre yang berbeda.
Lör: Ketika pertama mengajak MaÌŠm untuk bikin band, yang jadinya malah meneruskan Critical Issues – yang waktu itu vokalis sebelumnya memutuskan keluar karena urusan kerja dan keluarga – niatnya memang bikin band hardcore punk dengan tendensi ke D-beat, atau crust punk; dan itu pas betul dengan arah style dari Critical Issues. Yang dalam konteks band khususnya secara musik, musik Critical Issues memang berbeda dengan DeÌ€tention. bahkan dari style vokalnya juga. Yah kadang ide kreatif kan enggak bisa dieksekusi dalam satu band, yang kalau dipaksakan malah bisa terkesan maksa. Maka itu mendingan bikin band yang lain.
Kendala di dalam band tanpa bassist? Tugas low-end tersebut dibebankan pada siapa ketika live dan recording?
Lör: Kalau format trio tanpa pemain bass sebenarnya di Dètention pun seperti itu ahahaha makanya enggak terlalu mengejutkan secara teknisnya.
Måm: Sebenarnya sebelumnya Critical Issues memang ada seorang pemain bass, tapi karena satu dan lain dia memutuskan enggak lanjut. Untuk live sih aku biasanya menggunakan skema yang dipakai Dètention dari Lör yang memungkinkan gitarku untuk memakai dua ampli gitar, dan juga ampli bass. Untuk sesi rekaman mini album kemarin, aku memang mengisi part bass. Tapi, untuk tour yang akan datang kami sedang mempersiapkan pemain bass sebagai touring member; yang mudah-mudahan bisa jadi member penuh Critical Issues nantinya.
Yix: Iya tidak merekrut pemain bass ketika proses pengerjaan memang karena kami kerja ngebut pasca Lör bergabung. Jadi memang karena tidak mau membuang waktu untuk merekrut dan mempersiapkan pemain bass untuk proses pengerjaan dan produksi mini album.
“lagu “Mark On Your Head†itu Lör merekam pengalamanku yang sempat diintimidasi dan ditahan tanpa alasan jelas oleh aparat kepolisian, hanya karena tampilanku yang hitam-hitam ahahaha.â€
Saya baru mendengar 2 lagu saja di bandcamp kalian. Isu-isu politikal apa saja yang kalian angkat di lirik-lirik kalian yang lain?
Lör: Ketika bergabung di Critical Issues, aku langsung diembankan porsi untuk mengerjakan lirik. Dan kalau bicara soal fokusnya, sebenarnya mungkin sudah jelas terlihat dari nama bandnya. Pemantiknya adalah segala hal yang hal di luar sana yang meliputi isu ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Tapi bila spesifik soal apa yang menjadi topik lirik dalam delapan lagu Critical Issues di mini album debutnya, bahasannya adalah soal krisis yang muncul akibat pandemi, kekuasaan berlebih dari aparatur negara, sistem elektoral yang manipulatif, politik identitas, konflik militer dan krisis kemanusiaan, sistem ekonomi yang eksploitatif, dan isu kekerasan seksual.
Måm: Iya, isu sosial politik memang menjadi titik berat dari band ini. Dan, seperti lagu “Mark On Your Head†itu Lör merekam pengalamanku yang sempat diintimidasi dan ditahan tanpa alasan jelas oleh aparat kepolisian, hanya karena tampilanku yang hitam-hitam ahahaha.
Lör: Lagu “285†itu adalah dari Pasal 285 KUHP. Itu dari pengalaman pribadiku ketika seorang terdekat menjadi korban pemerkosaan, dan meminta saya untuk menghadapi si predator, dan menjadi mediator karena korban tak ingin kasusnya gaduh. Sekuat tenaga menahan diri karena kehendak korban harus tetap kujaga. Amarah yang harus disimpan itu pun kuluapkan menjadi lagu itu.
Yix: Iya sih, kami berbicara akan hal yang untuk sebuah band hardcore punk mungkin terdengar klise dan bombastis, tapi pada hakikatnya dekat dan mempengaruhi kehidupan kita.
Lagu “Plague Years” dan “Hostile Takeover” tentang apa sih?
Lör: “Plague Years†itu tentang pandemi yang dua tahun lalu kita rasakan bersama; dan beragam krisis yang menyertainya baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Kalau “Hostile Takeover†itu tentang perang dan krisis kemanusiaan yang menyertainya, terpantik akan apa yang terjadi di Ukraina, Suriah, Palestina dan juga Papua.
Awal dari kerjasama dengan Disaster Records bermula darimana? Kenapa memilih Disaster Records untuk merilis EP kalian?
MaÌŠm: Awalnya kami mikir mau merilis sendiri, tapi kemudian agar kerja dan fokusnya bisa di-backup ahh kenapa enggak coba bekerjasama dengan label rekaman independen saja. Sembari proses rekaman mini album berjalan, akhirnya kami membuat daftar label rekaman yang mungkin cocok dengan Critical Issues, dan salah satunya Disaster Records.
Lör: Iya, semua proses rekaman kami bereskan dulu hingga sampai rough balance mix untuk menjadi bahan preview ke label rekaman independen yang akan kami ajukan; yah niatnya biar enggak beli kucing dalam karung lah. Dan, Disaster Records itu adalah label rekaman independen pertama dalam daftar yang kami buat. Kami ajukan materi audio, dan time schedule rencana kami pada bulan Mei atau Juni lalu ke Disaster Records. Dan, Disaster Records berkenan; semuanya bergulir dari situ.
Yix: Dan, jujur kami senang karena dalam prosesnya Disaster Records juga sangat suportif untuk segala rencana yang kami persiapkan.
Apakah CI ingin lebih dikenal sebagai live band yang intense atau sebagai band yang rilisan nya sangat prolifik?
Lör: Idealnya sih keduanya ya, yah tapi kami enggak banyak proyeksi yang muluk-muluk ya. Karena mini album yang baru kami rilis baru rilisan debut. Jadi untuk sekarang kami coba menikmati saja segala proses yang kami jalani sekarang.
MaÌŠm: Iya sih kami coba jalani saja dulu prosesnya, yang pasti gass pol ahahahaha.
Yix: Enggak mau bermain dengan ekspektasi kawan-kawan. Bisa diapresiasi dengan baik sekarang ini pun kami cukup senang.
Album-album terbaik yang merubah hidup & musikalitas kalian?
Lör: Hmmm.. mesti berundur beberapa dekade sih yak ahahaha kalau aku mungkin Bad Religion “Recipe For Hateâ€, dan Slayer “Seasons In The Abyssâ€. Ada beberapa lain yang cukup signifikan juga khususnya dari ranah punk, tapi dua yang di posisi puncak mungkin itu.
MaÌŠm: Aku sih, Milisi Kecoa “Kalian Memang Menyedihkanâ€, dan album-album dari bandnya Ryan Abbott seperti Chain Rank dan Green Beret.
Yix: Kalau aku, Entombed “Left Hand Path†dan Iced “Don’t Mean Shitâ€
Pertanyaan terakhir: Kuliner-kuliner khas Palembang favorit kalian?
Lör: Ahahaha pertanyaan lompat topik yang cukup menarik. We have different ideas, but food could unite us all hahaha kalau aku apa ya? Mungkin Mie Celor, menu mie khas Palembang dengan kuah kental kaldu dari udang yang cocok banget dimakan sebagai menu sarapan, dan juga makan sore. Satu lagi mungkin Martabak Har telor bebek, dengan kuah karinya yang mantap.
MaÌŠm: Pempek dan model mie, dua itu sih yang jadi favorit karena untuk makan itu ada momennya biar lebih terasa nikmat makannya ahahaha.
Yix: Laksan, karena aku suka olahan dari ikan yang diolah dengan sagu dan berbagai racikan lainnya, biasa makannya dicampur sama kuah santan. Yang kedua, apalagi yah Pempek ahahaha sudah jadi makanan cemilan sehari-hari. Dan bukan hanya beli tapi juga bikin untuk dimakan sendiri sekeluarga di rumah. Makannya jelas sama kuah cuko.
Words & interview by Aldy Kusumah
Photos by Dewi Andriani, Cacink