Kukuh Rizal adalah sosok dibalik music company / record label yang bernama Sun Eater. Sun Eater dikenal lewat output-output kerjasamanya dengan Hindia, Lomba Sihir, Mantra Vutura dan Feast. Selain menjadi founder Sun Eater, Kukuh juga sedang mempersiapkan dan mendevelop label-label lainnya, beberapa diantaranya adalah SDY yang banyak merilis merchandise, sebuah label koplo dan dangdut, dan juga partnership dengan Greedy Dust untuk merilis musik-musik dengan variasi genre yang lebih luas.
“Label yang Gue bedah pas bikin Sun Eater adalah Big Hit Music yang sekarang rebranding menjadi HYBE. Turunan nya banyak: NewJeans, BTS.. 5 tahun terakhir ini gue perhatiin banget gerakan mereka.”
Halo Kukuh! Bisa ceritakan sedikit ga gimana Lo awalnya membuat Sun Eater? Sebelumnya Lo juga sempat berkerja di S.C.A.N.D.A.L. (Divisi publishing 347) ya?
Iya dulu sempat magang di SCANDAL, karena Gue lumayan penasaran gimana proses kreatif dibelakang 347. Jadi waktu itu iseng ngontak teman-teman di SCANDAL untuk bisa terlibat di beberapa projek mereka, walau ga banyak lumayan bisa ngasih pengalaman berharga banget. Sempat bikin creative house di Bandung namanya House the House (Keuken). 2013 sempat join Nike Indonesia, bikin aktivasi kaya Bajak Jakarta, mirip konsep reclaim the street nya Keuken cuma ini event lari. Sempat megang retail, lalu pindah ke Phillip Morris. Lalu ngerjain Soundrenaline, dan ada beberapa direct communication marketing dengan beberapa influencer dan kerjasama dengan Arian 13, Anton Ismael dan kawan-kawan lain.
Dengan beberapa pengalaman Gue di bidang urban design, marketing, event dan digital content Gue ke trigger untuk membuat Sun Eater. Tapi ada 3 artikel yang paling nge-trigger Gue. Satu adalah Gue penasaran model bisnis Radiohead yang ternyata lumayan luas. Salah satu wartawan Guardian membedah model bisnis mereka. Kedua artikel mengenai kolaborasi Interscope & Google yang membuat label UnitedMasters. Dan ketiga artikel mengenai fenomena 88Rising yang dibedah oleh Forbes dan media bisnis lain. 3 artikel ini membuat Gue kepikiran kalau bisnis musik itu bisa se-beyond ini dan ada beberapa loophole dan insight menarik juga. Kayaknya Gue udah punya plan untuk apa yang mau Gue lakukan di bisnis musik dan akhirnya Gue bikin Sun Eater.
Denger-denger Lo juga berencana membuat sebuah media ya? Seperti apa Lo membayangkan output finished product media tersebut? Konsepnya seperti apa?
Iya betul, sebenarnya ga cuma media tapi Gue membayangkan music dan media community. Gue juga sudah beberapa kali membuat konsep media dengan community base dan user generated content. Sun Eater bisnisnya artist-centric driven banget dan dengan ledakan jumlah talent di Indonesia masih ada ketimpangan di industri musik salah satunya akses ke pengetahuan investment/bisnis musik dan artist management. Harusnya ada sebuah platform dimana orang bisa cari tahu, belajar dan sharing tentang informasi apapun terkait musik. Harusnya dalam waktu dekat akan segera di launch dan akan ada aktivasi music-con under company ini di bulan Juli.
Lalu bagaimana dengan label koplo yang akan menjadi divisi baru Sun Eater? Apa yang membuat Lo kepikiran untuk membuat sebuah label koplo?
Sun Eater secara model bisnis adalah multi-label group. Mungkin orang tau nya Sun Eater hanya Feast dan Lomba Sihir, tapi kita uga aktif nge-scale up record label lain seperti Greedy Dust dan Riuh Records. Label ini sebenarnya ga pure koplo tapi menyasar ke musik Indonesia karena secara revenue pop Indonesia itu posisi ke-3 dan posisi ke-1 adalah dangdut dan no 2 adalah campur sari. Jadi menurut Gue melihat market share ini Gue melihat potensi bagus untuk mengangkat musik Indonesia ke skala yang lebih besar, bisa jadi koplo, campur sari atau dangdut. Tapi kita sedang planning label lain juga seperti label untuk games, label untuk Gen-Z dan beberapa label lain yang sedang kita kembangkan.
Divisi merchandise Sun Eater yang dinamakan Sun Dong Yang sudah merilis berbagai merch menarik. Apakah Lo bakal nge-treat divisi merch ini seperti merch band atau Lo lebih suka pendekatan brand fashion?
Kita sudah rebranding menjadi SDY. Dan itu bukan divisi merch dari Sun Eater, sudah benar-benar beda perusahaan, beda PT, beda pembukuan dan beda partner, cuma kebetulan under Sun Eater group. Ini sebenarnya kita pas bikin bisnis pasti pinpoint secara konsumen itu seperti apa. Kalau udah ketemu product marketnya enak untuk kita scale up. Seperti Gentle Monster di Korea atau Uniqlo, ga cuma musik tapi kita benar-benar perhatikan fitting, siluet dan material selayaknya brand fashion. Lalu akan ada in-house SDY product dan juga kolaborasi dengan artist lain. Kita ingin music merch ini dapat diakses dengan mudah dan seluas mungkin, mungkin seperti Uniqlo kita pengen ada di mall juga. Mall adalah salah satu titik yang akan kita coba reach untuk SDY.
Sudah collab dengan siapa saja SDY?
Pee Wee Gaskins, Rendy Pandugo, Mahalini, Phum Viphurit dari Thailand, ada juga Maudy Ayunda yang mainstreamnya. Ada Feast, Hindia, Lomba Sihir, Rayhan Noor dan upcoming akan ada banyak musisi juga yang akan segera kita rilis. Ga cuma T-Shirt basic, kita udah mulai ngeluarin baby tees, boxy cut, tumbler, totebag, kita pengen varian nya seluas mungkin juga.
Tentunya Sun Eater lekat dengan Hindia, Feast dan Lomba Sihir. Tapi adakah roster atau upcoming artist Sun Eater yang menurut Lo tidak kalah menarik?
Upcoming artist kita yang baru ada satu dari Jawa Timur dan satu lagi dari Jakarta. Secara musik akan sangat menarik karena agak sedikit berbeda dengan musik zona nyaman kita. Tungguin aja pergerakan-pergerakan dari Sun Eater yang pastinya ga akan membosankan lah hehe..
Apakah Lo lebih memposisikan Sun Eater sebagai record label, artist management, atau event organizer?
Sebagai music company memang kita ada beberapa core business-nya. Sebagai record label kita merilis Mantra Vutura, Agatha Pricilla, Rayhan Noor, Feast, Lomba Sihir dan beberapa artist lain. Artist management dan event juga kita handle sendiri, sampai digital content. Mudahnya kita itu memang music company sih.
6 record label favorit Lo apa saja?
Kalau lokal Gue suka banget Grimloc, cara mereka merilis, cara memilih artist, artist repertoar nya bagus, komunitas jalan dan direct fans service nya bagus banget. Mereka salah satu yang terbaik so far, bahkan di compare sama label luar juga Grimloc masih jadi favorit Gue. Future Classic salah satu yang Gue perhatiin banget walaupun Gue gak terlalu into electronic music, mungkin entry point Gue karena coolness nya, Gue mulai dengerin Flume dan G Flip. Modular juga salah satu label Australia yang dulu Gue ikutin, ada Cut Copy dan kawan-kawan cuma mereka sempat ada drama dan ga Gue ikutin lagi. Warp mungkin lebih ke positioning labelnya walaupun jujur Gue kurang mendengarkan katalog musiknya, selain musik banyak diversifikasi bisnisnya ada label film nya juga. XL Recording juga Gue suka. Label yang Gue bedah pas bikin Sun Eater adalah Big Hit Music yang sekarang rebranding menjadi HYBE. Turunan nya banyak: NewJeans, BTS.. 5 tahun terakhir ini gue perhatiin banget gerakan mereka.
Kolaborasi Sun Eater dengan Teenage Death Star tentunya sangat diantisipasi. Kenapa memilih TDS sebagai kolaborator? Setelah tidak membuat full album selama 17 tahun, bagaimana Sun Eater bisa mengajak mereka untuk kembali ke dapur rekaman? Hahaha..
Ini hubungan 2 belah pihak sih karena gue lumayan kenal dengan beberapa personil dan kita juga sudah ngobrolin soal kreatif jauh-jauh hari sebenarnya. In gila sih, vibes nya kaya gue di Bandung lagi: ketemu Acong, Alvin, Firman, kang Iyo dan kang Helvi. Kadang gue harus bikin template dan S.O.P. di Sun Eater, tapi dengan TDS gue bisa keluar dari kebiasaan itu. Dan mereka juga tertarik dengan beberapa hal yang kita bicarakan jadi kita jalan bareng, walaupun kadang gue bikin plan tahunan, di TDS ini jadi playground untuk ide-ide gila gue, yang mungkin tanpa plan bisa kejadian atau plan nya tiba-tiba berubah 100%. Ada beberapa hal yang kita rencanakan untuk dilakukan sepanjang tahun ini bakal menarik banget.
Untuk meng-elevate Indonesia ke level berikutnya, perlu ada apa aja sih di ekosistem industri musik Indonesia?
Wah banyak banget.. Tapi ada beberapa hal yang harus gue highlight. Satu adalah akses ke informasi atau knowledge. Harus ada platform yang menjembatani gap antara generasi record label konvensional dan artis-artis independen baru. Ada jarak juga antara musisi dengan entrepreneurship karena pada akhirnya kita butuh banyak pertimbangan dari sisi bisnis musik. Namanya industri musik kadang ga semuanya dari sisi idealisme juga. Salah satu yang paling penting itu adalah Indonesia adalah local content driven market banget, jadi kita seperti hidup di bubble-nya sendiri. Kita kadang butuh akses ke industri global baik itu promotor luar atau musik media luar mengcover musisi Indonesia. Keempat mungkin mengenai regulasinya, kita tuh kaya pemberontak di Star Wars, dan pada akhirnya harus ada peran pemerintah sebagai regulator. Perbaikan di industri musik akan jauh lebih mudah dipercepat ketika regulator turn tangan. Sebenarnya banyak banget sih yang harus di highlight karena industri musik Indonesia masih butuh banyak berbenah banget.
Words & interview by Aldy Kusumah