The Dare adalah sebuah band twee-pop dari Lombok. Kuartet ini terdiri dari Riri (Vokal, gitar), Desita (Drum) , Yollanang (Gitar), dan Meigaali (Bass). The Dare terbentuk pada Februari 2018, dan tak perlu waktu lama untuk mereka merilis debut EP berjudul “Inthrovvvert†(Yang kemudian dirilis dalam format CD & kaset). Dalam umurnya yang baru 2 tahun, band ini sudah melakukan 4 kali rangkaian tour Jawa-Bali. Mari berbincang dengan The Dare mengenai Ayam Taliwang, menciptakan ruang konser yang aman dan kejadian mistis pada saat tour…
“Kami berharap bahwa para perempuan tidak takut lagi untuk mengambil keputusan yang mereka inginkanâ€
Bagaimana scene musik Lombok pada saat kalian memutuskan untuk membuat The Dare? Ceritain juga dong gimana awalnya band ini terbentuk?
Riri: Scene di lombok pada saat itu cukup didominasi oleh musik hardcore, punk, dan reggae. Entah bagaimana latar belakangnya sehingga scene musik itu dulu cukup mendominasi, karena sebenarnya ga begitu ngikutin pergerakan mereka, kalau ke tempat mereka ya dulu cuman mau main-main aja, karena teman-temanku lumayan banyak di sana.
Awal mula The Dare ini adalah project iseng yang awalnya Timmy (manager kami) mengajak saya (Riri) untuk membuat sebuah band. Tapi setelah beberapa teman lebih merekomendasikan Timmy untuk membuat band yang isinya cewe-cewe seketika plan awal berubah hehe, akhirnya Timmy mencari beberapa cewek di Lombok yang bisa bermain musik. Kemudian bertemulah kita dengan Yollan, Desi dan Meiga. Sampai akhirnya terbentuk The Dare.
Yollan: Kenapa akhirnya mau join juga, karena waktu itu pas dikasih denger demo ngerasa baru kali ini sih ditawarin musik dengan warna seperti ini, itu juga menjadi dorongan kenapa mau join bareng.
Desita: Kalau aku di DM Timmy jam 3 subuh, ditawarin ngeband yang nantinya bakal diisi sama cewek-cewek semua. Awalnya agak mau nolak, karena udah lama gak main drum dan skill yang pas-pas-an hahaha. Tapi saat itu Kak Timmy yakinin aku kalau gapapa, yang penting mau coba dulu dan kalau emang enak dan klop ya dijalanin. Akhirnya yaudah tanpa basa-basi aku terima tawarannya. Baru deh akhirnya ketemu Mba Riri, Mayo, dan Kak Meiga.
Meiga: Kalau aku orang yang paling terakhir gabung di The Dare ya. Timmy (manager kami) memang dari awal ajakin terus buat gabung di The Dare, tapi karena aku gak pernah nge-band dan gak bisa main bass sebelumnya, jadi otomatis aku tolak hahahaha. Sampai berkali kali ngajakin dan akhirnya aku mau, setelah aku dengerin EP Inthrovvvert. Aku langsung suka sama lagi-lagunya. Yaudah aku belajar bass dan tentunya diajarin Timmy juga, kemudian akhirnya bergabung di The Dare.
“Walaupun kalian punya skill pas-pasan juga bisa kok nge band, tapi tetap harus punya tekad yang kuat, semangat untuk berkarya.“
Mayoritas lirik ditulis oleh Desita yang merupakan seorang penabuh drum. Cukup unik juga, bisa elaborasi sedikit mengenai ini?
Desita: Ini awalnya ceritanya agak lucu sih, karena sebenarnya setelah pertemuan yang kedua kali kami berencana buat nulis lirik bareng, yaudah akhirnya ketemu dan mulai nyari-nyari kata yang pas buat di Bridge pertama “Inthrovvvertâ€. Jujur aku pribadi sebelumnya gak pernah nulis lirik, tapi entah kenapa malam itu karena akhirnya gak beres jadi 1 lagu, tugas lirik itu malah jadi PR buat aku kerjain di rumah (mungkin karena paling bontot kali yah hahaha, jadi yaudah iya-iya aja) 😂
Yollan: Di balik mayoritas lirik ditulis Desita, setiap mau menulis lirik juga kami punya ritual sharing apa yang kami rasain, Jadi di semua lirik The Dare itu sebenarnya pengalaman pribadi semua personil yang dirangkum jadi satu.
Desita: Termasuk juga lagu Inthrovvvert ini sebenarnya menceritakan apa yang kita rasain. Sebenarnya kehadiran aku yang nulis liriknya di sini adalah penyambung suara dari temen-temen The Dare yang lain. Nanya pengalamannya satu-satu sama tema lagu yang mau dibuat terus ntar aku berusaha merangkai, ntar dilempar lagi ke grup, udah bener belum maunya seperti ini. Selain itu juga, banyak dibantu sama temen-temen yang lain, Ka Timmy Ka Fiyo, banyak ngasi perspektif dan masukan, jadi dari situ juga aku berusaha terus gali.
Jika band Teenage Death Star memiliki slogan “Skill is Dead”, The Dare di salah satu postingan nya menulis 1% skill, 99% berpelukan. Bisa elaborasi sedikit mengenai ini?
Riri: WKWKWK iya karena kami bukan orang yang berekspektasi besar akan hidup atau besar di musik, akal akalan Manager kami (Timmy) doang sih yang seserius itu ngomongin musik, kalau kami sih gak pandai-pandai banget main musik wkwk sekenanya aja, syukur deh musik kami masih berkenan didengar orang wkwk, yang penting tuh mungkin tanggung jawab karya, berpelukan adalah salah satu bentuk pertanggung jawaban karya, dedikasi bermusik kami yang ga seberapa ini nyatanya menemukan pendengarnya wkwk, jadi merangkul (memeluk) mereka adalah salah satu bentuk pertanggung jawaban, setelah merangkul mungkin bergandengan ya? Wkwk bersama-sama bergerak untuk hal-hal baik, gitu lah kurang lebih.
“Banyak hal yang bisa dieksplor tanpa harus mengagungkan skill yang dibuat-buat sok kompleksâ€
Menurut kalian, penting ga sih skill dalam bermusik? Karena kebanyakan band-band yang saya sukai juga bukan yang banyak menonjolkan skill dalam musiknya..
Meiga: Hmmm…. Penting ga penting sih hahaha menjadi tidak penting karena skill bukan satu-satunya hal yang harus ditonjolkan dalam bermusik, banyak hal yang bisa dieksplor tanpa harus mengagungkan skill yang dibuat-buat sok kompleks, tapi dari kami secara general ada titik yang merasa ini juga penting, karena skill itu untuk suatu perkembangan menuju level selanjutnya sih, tapi tujuan tiap orang beda-beda, kalo apa yang kami lakuin sebenernya gak pernah ada kata belajar untuk menjadi lebih berskill lagi, cuman lebih bertanggung jawab aja sama rekaman kami sih jadi pas live itu setidaknya gak jauh berbeda dengan hasil rekamannya, nah kalo yang kami liat sekarang malahan team produksian banget nih yang lagi ngulik-nguliknya masalah teknis audio di lapangan saat kami manggung, udah gak paham dah kalo mereka ngobrol dengan isyarat yang aneh-aneh kek denger obrolan manusia dari planet lain HAHAHAHA sok ribet-ribet sendiri sama sound..
Yah seperti kata Teenage Death Star: Skill Is Dead. Walaupun kalian punya skill pas-pasan juga bisa kok nge band, tapi tetap harus punya tekad yang kuat, semangat untuk berkarya. Dan tentunya tetap belajar terus dan upgrade skill.
Yollan: Dan justru karena skill ini pas-pasan malah yang bikin kami bisa bertahan sampai sekarang, bisa saling support, karena kami explore bareng, disana juga kenapa kami 1% skill 99% berpelukan (menyambung pertanyaan ke-3 ya hehe), karena kami saling bangga satu sama lain, gak nyangka aja ternyata apresiasi mereka kepada musik kami bisa dibilang positif, walaupun dengan skill yang serba pas-pasan ini.
Desita: Dari awal diajakin juga sebenarnya udah ngasi tau kalau skill pas-pasan 😄 Tapi emang The Dare ini sebenarnya bukan band yang mesti punya skill powerfull, pengennya yaudah amatir menjadi ciri khas kita hahaha. Tapi bukan berarti kami mau stuck di situ aja yah, kita juga terus explore dalam banyak hal.
Merchandise kalian dengan tagline tulisan “Problematik” cukup menarik. Apa ini ada hubungan nya dengan salah satu kasus yang baru-baru ini cukup viral? Apa yang mau kalian angkat dari message design kaos ini?
Riri: Hah? Kasus viral apa? Ga tau aku wkwk ga ada kepikiran macem-macem sampai musti riding the wave ke arah apapun sih. Waktu itu emang mau bikin merch aja, karena banyak yang ga kebagian merch saat tur.
Meiga: Yang buat merch Problematic itu Fiyo, dia yang mengurusi berbagai kebutuhan visual di band kita, karena ada pertanyaan ini jadi kemarin kita tanya si Fiyo langsung, katanya dia sih penggunaan frasa “Problematic†itu sekedar untuk merepresentasikan keadaan kita semua sih haha, memang manusia mana yang tidak memiliki sifat problematic? Bahkan sifat itu sesekali memang perlu dimunculkan untuk membuat gebrakan, kalau dalam konteks merch ini sih kata problematic itu dilengkapi dengan kalimat “Too Slay To Obey†yang artinya adalah “kamu terlalu terlalu tangguh untuk tundukâ€, kami berharap bahwa para perempuan tidak takut lagi untuk mengambil keputusan yang mereka inginkan, mau sampai kapan keinginan kami harus diatur oleh orang lain? Kira-kira sederhananya gitu sih menurut Fiyo.
Menurut beberapa media kalian banyak mengangkat tema perempuan dalam EP dan single-single kalian. Bisa cerita sedikit mengenai itu?
Desita: Mungkin ga banyak sih, cuman memang ada beberapa, seperti di lagu “Fameinkissâ€, itu singkatnya menceritakan tentang seorang perempuan yang sejatinya juga bisa kok berperan sama dengan laki-laki di dalam konteks suatu hubungan “Jadi jangan macam-macam ya mas†hehe kira-kira begitu. Di lagu “Semeti Medley†juga mungkin masih mirip-mirip lah permasalahannya dengan lagu “Fameinkissâ€, tapi di lagu “Women Who Sailed The World†mungkin yang bisa dibilang lebih serius, karena di lagu ini kami benar-benar ingin mengajak teman-teman perempuan untuk saling empowering satu sama lain. Ingin memberitahukan bahwa bukan hanya laki-laki yang mampu mengarungi lautan untuk membawa sumberdaya bagi kehidupannya. Singkatnya sih begitu, lebihnya ya silahkan ditafsirkan melalui pribadi masing-masing mendengar, agar maknanya tidak menyempit. Banyak lah medium kami yang bisa digunakan untuk menyuarakan keresahan kami terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan.
Saya melihat di salah satu feeds IG kalian ada vinyl Dara Puspita yang sedang dipegang. Apa aja sih band-band panutan kalian masing-masing yang membuat kalian memiliki musikalitas dan menginspirasi terbentuknya The Dare ini?
Desita: Banyak banget sebenarnya, tapi memang benar salah satunya Dara Puspita, namun kebanyakan sih lebih menginspirasi dari segi semangat mereka ya, siapa sih yang tidak kagum dengan perjalanan musik mereka? Jangankan dampak bagi musisi perempuan, dampak mereka bagi industri musik Indonesia di masa peralihan orde lama dan orde baru pun pasti sangat membekas. Kalau dari segi musik sih bener-bener banyak banget, awalnya mungkin pemicu terbentuk ya karena Riri nyanyi lagu “Kiss Me†milik Sixpence None The Richer, cuman saat proses kreatif mulai berlangsung, banyak banget, kalau harus kami sampaikan beberapa mungkin bakal ada nama Potret, Cherry Bombshell, Mocca, Tiger Trap, Heavenly, Language Of Flowers, Shonen Knife, banyak deh pokoknya.
Kalian sempat berkolaborasi dengan Locarpet untuk membuat sebuah karpet berukuran besar yang bertuliskan “Dare to fight sexual harassment in concert”. Apa pendapat kalian mengenai pelecehan yang sering terjadi di gigs-gigs musik yang seharusnya menjadi tempat aman untuk semua gender?
Riri: Wow! pembahasan ini sepertinya bakal cukup sensitive ya, karena masih banyak pro dan kontra dalam penanggulangan hal ini, tapi yang sudah pasti, kami yakin semua orang setuju bahwa tindakan pelecehan seksual di dalam acara musik adalah suatu tindakan yang sangat terkutuk, dan jelas bahwa ini adalah tugas bersama untuk memberantas hal ini. Jelas bahwa acara musik harus menjadi ruang yang aman bagi siapapun, siapa sih yang mau bersenang-senang dengan dihantui rasa takut?
Desita: Karena begini, Sebenarnya tindakan pelecehan seksual di dalam acara musik itu bukan hanya merugikan korbannya. Tanpa mengenyampingkan yang dialami korban, namun hal ini juga bisa katakanaan akan berdampak bagi penyelenggara acara musik, bisa dibayangkan ga jika pelecehan seksual masih sering terjadi? Ada berapa penyintas yang mengalami trauma terhadap acara musik dan enggan Kembali hadir ke acara musik? Okay jika hal itu hanya sebatas keputusan untuk dirinya, jika trauma tersebut diturunkan kepada orang disekitarnya bagaimana? Bahkan kami sering mendengar curhatan mereka melalui direct message, bahwa ada salah satu dari mereka yang sekarang sudah menjadi ibu dan memiliki anak, lalu berkata bahwa dia juga akan melarang anaknya kelak untuk kerap hadir di acara musik karena disana bagi dia cukup berbahaya. Apakah hal tersebut terdengar seperti hal yang biasa-biasa saja bagi ekosistem musik kami? Kami rasa kenyamanan & keamanan di dalam acara musik berhak dimiliki bagi siapapun yang ingin hadir untuk menikmatinya.
Meiga: Pelecehan seksual khususnya di gigs atau konser memang jadi salah satu concern kami. Karena hal ini memang perlu kita perangi bersama dan edukasi terus menerus. Semua orang memiliki caranya masing-masing dalam menyikapi dan memberikan solusi dalam kasus ini, pro dan kontranya tentu akan ada, namun cara kami dalam menyikapi hal ini adalah dengan memberikan ruang yang aman bagi semua gender. Tapi concern kami disini tentu khususnya untuk perempuan. Sudahlah, gausah terlalu naif dengan mengatakan semua gender harus diperlakukan sama, karena kenyataannya disini adalah perempuan lebih kerap menerima pelecehan seksual, jadi ga ada salahnya jika kami lebih dulu mengutamakan kenyamanan dan keamanan mereka, toh hal ini triggernya adalah ketika kami menerima DM masuk dari beberapa penonton kami yang perempuan, beberapa dari mereka menyampaikan bahwa mereka ingin menikmati musik kami dengan santai tanpa harus terkena sikut, apa lalu solusi kami membiarkan mereka nonton di belakang dan kesulitan untuk menyaksikan kami di panggung? Kayanya dengan asas “kesetaraan†kami gabisa serta merta membiarkan itu deh, kasian juga, jadi yaudah akhirnya di setiap kami sebelum mulai main, kami menyempatkan untuk announce ada ruang kosong bagi perempuan yang ingin maju kedepan, dan hal itu bukan sebuah aturan jika perempuan harus di depan ya, kami hanya menyediakan ruang bagi mereka yang memang ingin santai, jika ada yang mau crowd surfing bareng laki-laki ya juga bebas, siapa kami harus ngatur-ngatur cara orang lain berekspresi, semua berhak senang-senang dengan caranya masing-masing, gada aturan gender dalam hal bersenang-senang.
Yollan: Kami harap sih dengan hal kecil kayak gini, temen-temen yang pernah menyampaikan ketidak nyamanannya, akhirnya setidaknya bisa nontonin The Dare dengan nyaman, ga takut, walaupun posisi di depan tengah atau belakang, karena kami juga ngerasa semua juga akan otomatis kok bekerjasama untuk menjaga satu sama lain.
Apa saja top 3 makanan di Lombok favorit masing-masing?
Meiga: Manok rumpak, ayam Rarang, sate Rembiga. Kalo ke Lombok kudu + wajib cobain ini!!!
Yollan: Walaupun selera makanan saya paling dibilang aneh sama anak-anak, contoh kecilnya kalo makan jeruk ga suka yang manis, sukanya yang asem, Tapi kali ini agak klop sama Meiga best of the best jatuh pada: ayam rarang !! Terus bebek Pondok Galih dan ayam taliwang.
Desita: Kalau aku nomor satu tentunya sate Rembiga!! Hahaha. Terus Nasi Lindung/Nasi Belut, dan Plecing kangkung.
Riri: Bakso Pak Ochin! Karena aku memang sering makan ini sejak dulu, dan masih menjadi hal yang aku rindukan tiap balik ke Lombok.
Ada cerita unik dari masing-masing saat menjalankan Javakensi Tour?
Yollan: Kalo aku pribadi sih dapetin pengalaman yang ga bakal aku lupain ya, karena di Javakensi ngasi achive memori yang sangat besar buat aku dan Rumi (anakku) karena berhasil lewatin 1 bulan gigs barengan dengan happy. Ga ada yang spesial sih uniknya, tapi bener-bener ga bakal pernah di lupain, dari Javakensi juga orang-orang akhirnya lebih mengenal The Dare, Javakensi juga awal mula akhirnya apa yang pengen kita suarakan untuk perempuan mulai dilirik banyak orang.
Desita: Di Javakensi Tour kemarin justru dapetnya adalah moment yang gak bakal dilupain seumur hidup. Buat aku pribadi, kita kayak “wah akhirnya, kita bisa tour sendiri, mandiri, tinggal 1 bulan bareng†dari hal itu kita belajar banyak sih dan dapat banyak teman baru juga, mungkin kalau bisa dibilang, aku amazed dengan pergerakan teman-teman kolektif di tiap kota yang kita sambangi, dan kita sangat berterimakasih. The Jansen juga sempat bantuin kita waktu itu, mereka melelang kaset dan merch mereka untuk membantu pendanaan acara di Bogor, sangat memorable, terimakasih The Jansen dan teman-teman di Bogor!
Meiga: Tinggal bareng satu rumah aja udah unik banget hahaha. Kami jadi tau dan lebih mengenal sifat masing-masing. Jadi banyak kagetnya disitu sih hahaha, dan makanan tentunya! Kami jadi banyak merasakan makanan di tiap daerah yang kami singgahi.
Riri: Mungkin kalau dari aku sih, kita sempat ngalamin hal mistis juga haha pokoknya serem, gausah diceritain! Ngeri.. Salah satu contohnya: keran air nyala sendiri.. Kejadian itu di Yogja kak.. Wah Javakensi memang moment yang gak bakal bisa dilupain dan bakalan kangen terus. Dan support temen-temen semua juga sangat luar biasa..
Words & Interview by Aldy Kusumah
Photos taken from The Dare’s archives