Taufiq Rahman adalah adalah sosok dibalik Elevation Records yang cukup prolifik dalam merilis vinyl reissue dan buku-buku menarik mengenai musik (This Album Could Be Your Life: 50 Album Musik Indonesia Terbaik 1955-2015, Flip Da Skrip). Baru-baru ini Elevation berkolaborasi dengan PHR Senayan untuk membuat pressing plant di Jakarta yang akan memudahkan musisi lokal untuk merilis format piringan hitam. Mari berbincang dengan Taufiq mengenai agenda-agenda Elevation dan juga vinyl pressing plant yang akan segra launch dekat-dekat ini…
PS: Mungkin pada saat interview ini publish Pressing Plant tersebut sudah launching
“Terserah mau diapakan vinylnya oleh konsumen, tapi sumber pendapatan untuk label, artis dan ekosistem adalah vinyl. Sah-sah aja kalau kita memperjuangkan keberadaan vinyl, karena alternatifnya lebih buruk.â€
Halo mas Taufiq. Apa kabar nih sekarang Elevation Records? Ada rencana apa saja kedepan mengenai rilisan dan lain-lain?
Gak terlalu banyak yang dede sih. Ya masih jalan yang pasti, kalau Elevation Records sih mau rilis vinyl Panbers sebentar lagi, kalau buku masih nunggu naskah jadi belum terlalu aktif. Kalau saya pribadi nyiapin pabrik pressing plant, kalau Elevation sih banyak nyiapin rilis-rilis reissue berikutnya. Ngurus live performance David Semak Belukar juga kemarin. Kalau reissue sih pasti kita mengarahkan nya ke vinyl. Apalagi sekarang dengan adanya pressing plant disini pasti akan lebih mudah dan lebih banyak lagi format vinyl yang bakal kita rilis. Kompilasi musik Indonesia awal ‘60an “Kelana Ria†juga akan kita rilis. Musik melayu klasik Indonesia yang cukup obscure, proto-melayu yang mungkin sudah dilupakan orang dan menjadi dasar dangdut Indonesia, orang mungkin lebih tau versi barunya.
Elevation juga cukup prolifik merilis buku-buku, yang beberapa ada tulisan mas Taufiq juga. Bagaimana awalnya mas mengembangkan Elevation menjadi 2 unit: books & records?
Awalnya memang label kecil-kecilan, mungkin sampai sekarang juga masih kecil-kecilan dari cara beroperasi dan orang-orangnya masih itu-itu saja. Tapi dari awal semangatnya memang untuk merilis musik Indonesia di format vinyl. Ada Sajama Cut, Semak Belukar sampai Southern Beach Terror yang kita rilis di awa 2010an. Itu berlanjut sampai tahun 2018-2019 sampai kita mulai melihat musik Indonesia lama, yang sampai sekarang keterusan. Awalnya memang merilis records dulu baru publish buku. Saya kan dulu rajin menulis pas saya di luar negeri dan di Jakarta Beat, akhirnya dikumpulkan dan dijadikan buku saja. Tulisan saya ga penting-penting amat dan yang baca juga sepertinya tidak akan banyak, saya ga yakin kalau ditawarkan ke penerbit besar akan ada yang ambil dan menerbitkan secara baik dan benar. Jadi akhirnya self-publish. Setelah itu ada Boombox yang tulisan Ucok. Ucok itu sama kaya saya rajin menulis, jadi tinggal di compile dan dijadikan buku. Lala jadi semangat menulis lagi dan bikin buku “Pop Kosong†yang memang tulisan baru bukan hasil compile. Terakhir yang serius dikerjakan adalah “This Album Could Be Your Life: 50 Album Terbaik Musik Indonesiaâ€. Terbit pas awal Covid. Proses riset, pengarsipan dan melibatkan banyak penulis, sehingga jadi proyek paling besar dan ambisius yang pernah kita lakukan di Elevation Books. Ada beberapa naskah yang belum sempat dikerjakan, mungkin untuk rilisan berikutnya.
“Sudah lama di Indonesia tidak ada pressing plant, hampir 60 tahun. “
Membicarakan pressing plant vinyl, menarik juga kolaborasi PHR dan Elevation Records yang akan membuat pabrik vinyl pertama di Indonesia. Bisa elaborasi sedikit mengenai gagasan dibalik kolaborasi tersebut?
Jadi kita tahu kan di Indonesia itu masalahnya ga ada pressing plant. Pressing plant terakhir yang ada di Indonesia itu tahun 1973, lalu diganti jadi pabrik CD dan kaset. Sudah lama di Indonesia tidak ada pressing plant, hampir 60 tahun. Masalah konkret di Indonesia adalah: banyak band dan label yang ingin cetak vinyl di Indonesia itu tidak ada sarana nya. Rilisan kompilasi Panbers hampir 2,5 tahun karena cetak di luar negeri, buang waktu hanya untuk 300 kopi saja. Akhirnya kami berpikir bagaimana kalau kita bikin saja pressing plant nya? Ide ini sudah kita obrolkan dengan PHR dari 2019, dan kita sudah bikin proposal disebar ke teman-teman untuk chip in, karena mesin nya itu mahal sekali untuk ukuran UKM. Karena modalnya besar sepertinya tidak banyak yang berminat. Ternyata di Jakarta itu sudah ada pabrik vinyl sejak 2019-2020, tapi dia tidak terbuka dan hanya menerima order dari rekan yang dia kenal saja. Karena mesin sudah beroperasi, secara cost lebih simple kalau saya dan PHR take over pabrik ini. Jadi akhirnya joint venture nya hanya berdua saja. Karena ongkosnya tidak sebesar membeli mesin dan membangun dari nol.
Apakah Adele yang memonopoli pabrik vinyl di seluruh dunia menjadi salah satu alasan anda untuk membuat pabrik sendiri? Hahaha..
Sebenarnya kasusnya sama dengan Metallica. Karena Metallica sudah sering press vinyl mereka di pabrik tersebut, dan hampir 80% kuota pressing pabrik tersebut dari Metallica, akhirnya pabrik tersebut mereka take over. Point nya adalah pressing plant di seluruh dunia itu menerima order ratusan ribu sampai jutaan dari Taylor Swift, Adele & Metallica, mencetak 300 keping itu pasti masuk di urutan belakang. Dan itu yang membuat survival atau upaya menghidupkan lagi vinyl menjadi kompleks buat orang-orang kecil seperti label kita yang tidak punya akses ke pressing plant. Karena order untuk artis-artis mainstream itu gede kan, dan pada akhirnya numpuk di toko dan gudang karena over supply dan gak laku. Siapa sih yang suka banget sama Adele sampe beli vinylnya? Musiknya kan gak terlalu mewah atau complicated sampai harus didengar di vinyl, cukup di Spotify saja haha..
“Tulisan saya ga penting-penting amat dan yang baca juga sepertinya tidak akan banyak, saya ga yakin kalau ditawarkan ke penerbit besar akan ada yang ambil dan menerbitkan secara baik dan benar. Jadi akhirnya self-publishâ€
Jujur walaupun mengoleksi vinyl, saya lebih banyak mendengar musik via streaming ketika sedang bekerja atau berkendara. Vinyl mungkin hanya didengar beberapa kali saja pas baru membeli. Apakah mas Taufiq begitu juga? Dan menurut survey 50% konsumen vinyl di Amerika bahkan tidak memiliki playernya. Apakah vinyl hanya menjadi semacam berhala untuk beberapa orang?
Sebenarnya lepas dari masalah diputar atau tidaknya, vinyl itu terdengar lebih bagus kalau turntable, jarum, kabel dan speaker nya memang benar. Kalau hanya dengan turntable 2,5 juta lebih baik didengar via Spotify saja. Tapi apapun itu motivasinya, saya pikir vinyl itu penting. Kalau sekarang itu metode terbesar penyaluran musik itu kan via streaming, dan streaming itu tidak ada uangnya. Label dan band kecil itu untuk dapat 1000 stream aja susahnya setengah mati, dan 1000 stream itu hanya bernilai 10 sen. Musik dari format streaming itu ga ada uangnya. CD juga turun banget karena format nya digital. Orang udah ga beli CD lagi. Memang vinyl yang trend nya naik terus, jadi yang menjanjikan potensi revenue bagi label dan artis adalah vinyl. Terserah mau diapakan vinylnya oleh konsumen, tapi sumber pendapatan untuk label, artis dan ekosistem adalah vinyl. Sah-sah aja kalau kita memperjuangkan keberadaan vinyl, karena alternatifnya lebih buruk.
So far wishlist vinyl yang belum kesampaian apa saja?
Kalau untuk vinyl-vinyl musik barat yang mainstream sepertinya sudah terkumpul semua. Jadi wishlist saya lebih banyak ke musik Indonesia lama, musik eksotis Mesir atau wold music Africa ‘60-’70an.
Ada band Zambia namanya Witch saya belum dapat sampai sekarang.
“Badai Pasti Berlalu†karena sudah ga mungkin lagi didapatkan haha..
“Semalam Di Malayaâ€-nya Syaiful Bahri, album Irama tahun 1963, masuk ke list 50 album terbaik Indonesia
The Byrds yang “The Notorious Byrds Brothersâ€, album terbaik mereka menurut saya.
Koes Plus yang “To The So Called The Guiltiesâ€.
Pertanyaan terakhir, apakah sebaiknya semua orang mempunyai waktu khusus untuk meng absorb sebuah album musik? Karena jaman sekarang musik bagi kebanyakan orang itu adalah untuk menemani berkendara, bekerja atau kegiatan lain nya..
Sama lah, kayaknya pengalaman kita sama lah. Selalu ada musik di belakang tapi itu lebih ke background music. Tapi kayaknya memang perlu waktu sendiri untuk mendengar musik itu. Kalau saya rutin setiap pagi ketika pikiran belum terlalu kotor, nyalain satu album full. Kalau weekend mungkin 1-2 jam full didepan sound system tanpa ada HP atau distraksi. Karena itu penting untuk mencari keseimbangan dalam hidup yang semakin banyak distraction kan? Cuma memang agak susah untuk mencari waktunya. Mungkin itu seperti pengalaman religius.
Last shouts untuk pembaca?
Dunia itu semakin banyak distraksi, musik tidak dianggap serius lagi. Sebagai akibatnya orang lebih memilih untuk mendengar via streaming, itu mungkin nyaman tapi tidak menimbulkan efek yang baik untuk label, artis dan para pekerja di bidang musik. Mereka gak dapet apa-apa. Mendengar musik itu lebih baik ada barang fisik didepan kita yang dipegang, dimasukin di CD tray atau ditaruh di turntable, sehingga musik masih mendapat penghormatan dan arti. Semua punya pilihan bebas tapi lebih baik membeli format yang menghargai dan memberi arti bagi seniman nya. Beli vinyl aja gapapa, walaupun belum punya turntable atau turntablenya belum bagus.
Text by Aldy Kusumah
Photos from Taufiq’s archives