Hampir 2 dekade setelah ngeluarin EP Biara dalam format kaset di tahun 1999, Sieve “me-reissue†debut full album-nya yang berjudul sama. Dengan tambahan 4 unreleased tracks untuk melengkapi 4 lagu lain dari EP ikonik mereka itu. Album Biara ini dirilis ke di format CD oleh label Anoa Records. Dibentuk di tahun 1998, Sieve bisa dibilang merupakan salah satu band pionir di scene musik lokal, baik Bandung maupun Indonesia, yang bergenre goth rock/darkwave, bareng dengan unit-unit seangkatan lainnya seperti Getah, SEL, Koil, Kubik dan Silent Sun. Band ini dibentuk oleh keyboardist dan pemain synth band industrial SEL, Richard Riza dan Alexandra J. Wuisan, vokalis pertama Cherry Bombshell. Formasi mereka kemudian dilengkapi oleh Regina Rina yang bergabung jadi gitaris sekaligus backing vocal. Mari berbincang dengan Alex, Rina dan Riza mengenai rencana-rencana Sieve…
“Scene musik Bandung pada tahun ‘90an berwarna banget. Kita satu komunitas lah sama Puppen, Arian jaman dulu, hangout di Reverse milik Richard Mutter dulu. Disitu juga ada Helvi dan Didit (FFWD), Ketemu banyak anak-anak yang nongkrong disana. Kita sih dekat banget sama personil-personil Koil dan Kubik. Waktu di Saparua juga banyak anak-anak punk/hardcore kaya Burgerkill, band almarhum Eben. Kita gak bisa sebutin satu-satu karena banyak banget apalagi scene Ujungberung. Jadi cukup berwarna lah dan masing-masing saling support. It’s the golden days of musik bawah tanah saat itu.“
Halo Sieve! Apa kabar. Kemana saja selama 23 tahun ini dan apa yang memutuskan kalian untuk rekaman & aktif lagi?
Alex: Halo, apakabar! Kalau gue sih terakhir sempat ngeband sama Ekyno (Gergasi Api), dan lagi prep juga untuk rilis album. Sisanya sih jadi ibu rumah tangga aja hahaha. Kenapa sih kita kembali lagi? Karena kita banyak banget hasrat untuk bermusik. Sayang kalau kita gak terusin. What do you want to do in your life? Kita ingin memberikan sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya walaupun esensinya sama. Kita sudah cukup dewasa dan sudah tua juga ya haha.. We want to share our quintessential essence of Sieve, karena dulu kita masih meraba-raba, sekarang udah kita godok banget. So you can taste Sieve seperti apa dengan musik jaman sekarang, semoga gak ketinggalan zaman dan semoga menyuguhkan sesuatu yang baru.
Riza: Kalau gw sih kebetulan sibuk sama kehidupan pribadi dan kerjaan, sempat lama gak pernah nyentuh dunia musik ataupun kreatif. Sebetulnya kalau gw sih sekarang aktif lagi di musik itu karena suatu “kebetulan” saja. Untuk Sieve kebetulan aja teman-teman di sekitar kita banyak yang minta Sieve untuk rilis ulang dan kebetulan kesempatannya ada, jadi kita coba. Dan kebetulan juga gw lagi diminta bantuan sama beberapa teman untuk bikin lagu. Jadi pas banget waktunya untuk memulai Sieve dan coba rekaman lagi.
Rina: Seperti yang Sandra bilang tadi sama sih esensinya. Kita itu sebenarnya ga pernah bubar dan cuma vakum. Vakumnya memang keputus tiba-tiba, padahal sebenarnya masih banyak hal dan ide-ide yang bisa kita kerjain, sayang sih sebenarnya. Dengan kesibukan masing-masing ada anak dan keluarga semuanya jadi terlupakan. Sekarang karena momennya pas dan ada tawaran reissue awalnya dari Anoa, jadi kepikiran kenapa gak mulai lagi? Walaupun kita sibuk, ada waktu untuk berkarya lagi. Sekarang lebih matured lah kitanya juga.
Scene musik Bandung pada saat dulu Sieve merilis “Biara†di tahun 1999 seperti apa? Sepertinya kalian salah satu pionir goth rock / darkwave ya pada saat itu?
Alex: Berwarna banget. Kita satu komunitas lah sama Puppen, Arian jaman dulu, hangout di Reverse milik Richard Mutter dulu. Disitu juga ada Helvi dan Didit (FFWD), anak-anak skateboard TL seperti Ekyno (Full of Hate/Plum), Maskom, dan Ketemu banyak anak-anak yang nongkrong disana, terutama yang ada di kompilasi “Masaindahbangetsekalipisanâ€.. Kita sih dekat banget sama personil-personil Koil dan Kubik. Sebelumnya gue di Cherry Bombshell jadi dekat sama komunitas 347 dirumahnya Ajo, anak-anak Itenas disitu. Kita sering juga manggung sama anak-anak Saparua, lalu kenal anak-anak Jakarta juga seperti anak-anak Stepforward seperti Ricky (Seringai) dan Jill, Wondergel, & Pestol Aer. Waktu di Saparua juga banyak anak-anak punk/hardcore kaya Burgerkill, almarhum Eben. Kita gak bisa sebutin satu-satu karena banyak banget apalagi scene Ujungberung. Jadi cukup berwarna lah dan masing-masing saling support. It’s the golden days of musik bawah tanah saat itu.
Saat itu terus terang kita gak mengarah ke genre tertentu dan yang pertama menyebut darkwave itu saya ingat si Arian. Dari wawancara majalah Trax kalau gak salah, Arian sedang mengulas tentang musik gothic di Indonesia. We just like those kinds of music at the moment, Riza dan Rina juga influencenya sintesis dari semua yang kita dengarkan saat itu. Jadi kita tahu darkwave itu dari Arian dan para pendengar.
Riza: Gw sih gak tau juga kalau kita disebut pionir goth…. Soalnya dulu pas bikin lagu gak mikir genre musik tertentu. Tapi kebetulan influence yang lagi kita dengar saat itu aja mungkin ada sedikit goth, dan pengaruh buku, film, musik yang kita dengerin saat itu aja mungkin ya. Kalau scene musik Bandung sendiri saat itu sih lebih banyak band indies ya… Seperti Pure Saturday, Kubik, Cherry Bombshell dan lain-lain. Disamping hardcore masih tetap berjaya juga meski sudah mulai stagnan. Tapi yang rada gelap memang gak terlalu banyak. Kubik sendiri saat itu mah lagunya masih ceria. Termasuk Koil juga masih grunge, Belum terlalu gelap..
Rina: Dulu itu pas jaman kita bikin EP “Biara†itu tuh memang anak-anak muda Bandung banyak yang lagi suka bermusik. Anak Bandung memang cenderung banyak yang saling kenal dan kompak. Jadi tiap band bergenre apapun kita main bareng dan memang jaman itu berwarna banget. Kita juga gak pernah peduli ke genre musiknya ya, hangout bareng aja. Untuk pelabelan musik goth, kita cuma bikin musik yang kita suka dan kita senang aja. Gak pernah kepikiran jadi gothic seperti yang orang bilang. Ya terserah orang sebutan nya apa.
Bisa ceritakan sedikit mengenai penggarapan dan konsep single “In the Shore of Madness�
Riza: Awalnya karena kita ingin coba bikin-bikin materi baru, gw coba lah bikin beberapa sketsa, salah satunya cikal bakal “In the Shore of Madness†ini… Masih sketsa kasar terus gw kasih ke Sandra dan Rina, mereka ngembangin lagunya lebih lanjut. Untuk lirik dan vokal dibikin sama Sandra. Ada saat Rooftop ngebantu kita, sketsa dibantu dikembangin sama mereka dari sisi sound dan teknis. Mereka bantu kita produce, saling diskusi, dan ngembangin materinya. Kalau dari konsep sebetulnya gw sendiri awalnya gak matok untuk bikin aliran tertentu, semuanya mengalir. Malahan pada awalnya gw bikin sketsanya lebih ke arah elektronik. Pada pengembangan lanjutannya akhirnya berkembang dengan sentuhan-sentuhan rock. Semuanya gak direncanakan tapi ngalir aja sih dan kita juga malahan gak pengen bikin lagu gelap atau goth. Sebetulnya konsepnya mau bikin lagu pop aja.
Rina: Seperti yang RIza bilang ya. Kita gak mau bikin lagu seperti dulu yang dilabeli goth. Kita ingin lebih berwarna, berkembang dan mengikuti jaman, tetapi tetap dengan karakter kita. Ga kepatok genre tetapi lebih ke musik yang kita suka.
Alex: Kita diajak Aghi dan Kris dari Rooftopsound Records untuk kolaborasi. Mereka sebagai produser. Yang arrange musiknya si Aghi di studio yang dia pakai untuk scoring musik film. Yang membuat sketsa kasar awalnya Riza. Lalu gue isi melodi vokal. Peran Riza dalam membuat chords dan progresi lagu itu menurut gue jenius sih, sangat mudah untuk gue isi dan mengalir begitu saja, mudah dapet nada yang catchy. Lalu kita hearing session dan Aghi arrange lagi. Ada kendala sound pada alat musik jadi dibantu banyak sama Aghi. Rina juga menyumbangkan banyak ide-ide dan bagian musik mana yang harus dikembangkan, dan mana yang harus dimodifikasi. Kris juga mengarahkan. Liriknya terus terang terinspirasi dari puisi-puisi pendek yang gue tulis, mengenai progresi upward spiral dalam hidup kita. Ada hope dari chaos. Lagu ini sebetulnya hopeful sekali. Ketika sedang mengalami kesulitan dalam hidup, in the brink of madness, saya ingin menginkorporasikan semua itu di lirik lagu “In the Shore of Madnessâ€.
Masih ingat ga equipment yang kalian pakai pada saat menggarap EP “Biara†dan live pada saat tahun ‘90an-2000 awal apa saja?
Rina: Ini Riza kayanya yang jawab detailnya, sampe dah lupa karena udah lama banget. Jaja juga lupa nih kayanya hahaha…
Alex: Ja lo pake protools atau apa tuh? Kalau gak salah ada keyboard Yamaha bokap gue yang lo pinjem. Yang pasti komputer semua di RIza deh.. Mastering, Mixing semua di RIza. Rina gue gatau pake gitar apa lupa. Mereka satu rumah sih.
RIza: Lupa-lupa inget gw. Tapi yang pasti mah DAW nya dulu masih Cool Edit Pro ya. Kalau gak salah. Atau masih manual pake Tascam/Fostex 4 track, keyboard sequencer Yamaha yang gw lupa tipenya. Tapi tipe biasa aja. Efek gitar Korg AX30g, gitar Epiphone dan Gibson. Udah itu aja sih dulu mah. Paling untuk sample manggung kita cuma pake kaset tape metal C90 di Fostex, terus sempet make Sony Minidisc untuk sample manggung. Itu juga sample manggung yang pake kaset tape mesti ganti tiap manggung karena selalu mulur pitanya, jadi berubah nada dasarnya hehe.
“Saat itu terus terang kita gak mengarah ke genre tertentu dan yang pertama menyebut darkwave itu saya ingat si Arian. Jadi kita tahu darkwave itu dari Arian dan para pendengar.“
Masing-masing personil bisa ceritakan sedikit mengenai proyek musikal kalian sebelum bergabung di Sieve?
Alex: Gue di Cherry Bombshell formasi awal banget. Keluar dari Cherry Bombshell pernah diajak Adjie The Milo mengisi lagu di album pertama mereka (Let Me Begin, 2003). Gue isi vokal dan lirik di lagu “Sianida†dan “Yin’s Evolvingâ€.
Rina: Kalau gue sebelum Sieve masih kecil banget, belum punya proyek musikal. Umurnya jauh sama kakak-kakak Sandra dan RIza haha.. Jadi gue masih anak SMA aja, walaupun gue suka bermusik kaya main piano. Pas lulus SMA gue diajak mereka main band di Sieve.
Riza: Sebelum Sieve gw bikin SEL, sisanya sih paling awal-awal bantu Koil dikit. Kubik sempat bantuin manggung aja.. Cherry Bombshell juga sempet bantuin manggung. Kayanya itu aja sih dulu. Pernah mau bikin projek sama vokalis gw dulu, almarhum Ademus. Lagunya sedikit grunge. Tapi gak sempet dilanjut, udah ada 1 lagu tapi materi hilang dan Ademusnya keburu kabur ke surga..
Pada saat menggarap “Biaraâ€, masing-masing sedang mendengarkan album apa saja?
Alex: Pengaruh musik kita banyak, kita dengar macem-macem dari Curve, Tori Amos lah, kalau RIza mungkin Puscifer, NIN, ya kita juga dengerin itu. DIa juga dengerin metal lawas kaya Iron Maiden yang poster mahluk Eddienya ada di kamar dia gede banget hahaha. Kalau Cocteau Twins gue dengerin dari jaman Cherry Bombshell. Berwarna banget sih. Tapi kita paling anti copy-paste, jadi kita pengen semua inspirasi terkumpul menjadi sesuatu yang baru. Kita gak mau stuck di satu genre.
Inspirasi lain mungkin luas banget dari buku dan film. I’m into escapism. Buku atau film yang berbau supernatural atau fantasy seperti Lord of the RIngs, WIllow, Narnia, Labirin, Sandman.. Kita tuh seneng main games. Teori konspirasi seperti UFO, holy grai, histori Sumeria dan piramida juga kita bertiga suka banget.
Riza: Apa yah? Lupa gw. Nine Inch Nails mah udah pasti, Broken, Downward Spiral, Pretty Hate Machine. Terus Marilyn Manson juga pasti nya. Lagi ngumpulin vinyl nya, Antichrist Superstar, Mechanical Animal. Terus Ministry juga yang Twitch, Jesus Built my Hotrod, Mind is Terrible Thing to Taste. Indies juga sih. Kaya Lush dan Slowdive dan Manic Street Preachers. Dan Smashing Pumpkins. It’s a must sih itu. Alasannya… Gak ada alasan sih, suka aja. Gak tau kenapa hahaha…
Rina: Nah iya Slowdive dan Smashing tuh gw dulu. Gue juga lupa, tapi yang pasti pas lagi garap “Biara†gue lagi suka banget Tori Amos sama Curve. Dan sedikit Cocteau Twins dan NIN juga. Kalau film sih gue seneng banget film fantasy kaya Labirin yang ada David Bowie. Mungkin kebawa Sandra dan Riza juga sih karena dulu masih kecil jadi terinspirasi apa yang mereka suka.
Setelah single “In the Shore of Madness†rencana berikutnya apa saja nih? Apa ada rencana untuk membuat showcase dan pertunjukan live dekat-dekat ini?
Riza: Live sih udah pasti. Tapi karena udah lama gak manggung jadi banyak persiapan yang mesti disiapin dari mulai personil, equipment itu sudah pasti. Dan juga settingan panggung dan sound juga mesti disiapin. Jadi kita lagi bebenah dulu, belum lagi manajemen juga masih dibentuk karena udah lama vakum. Kemaren ini juga ada beberapa tawaran seperti di Extreme Moshpit cuma terpaksa kita lewat karena materi belum siap.
Rina: Kita lagi cari additional nih mungkin ada yang mau ngelamar? Hehe.. Karena kita butuh banget additional. Kita mau latihan tapi agak sulit karena Sandra di Jakarta. Kalau additionalnya anak Jakarta ya kita kayanya latihan di Jakarta juga sih, benar-benar perlu effort banyak
Alex: Additional anak Bandung mungkin untuk main di Bandung, kalau manggung di Jakarta pake additional anak Jakarta. Ini ide jenius nya Riza sih haha. Kalau manggung di luar 2 kota itu mungkin pembaca ada yang bisa? Hahaha.. Pastinya kita lagi cari personil bassist dan drummer. Yang pasti ada guest star rahasia hahaha.. Pastinya ya pengen ada showcase nantinya kalau itu semua udah set.
Panggung Sieve yang dulu paling memorable bagi kalian pas perform dimana aja? Kenapa?
Riza: Nah ini mah aslinya lupa. Dimana aja ya? Saparua kayanya sih ya yang berkesan..
Rina: Paling memorable ya. Gue lupa tempatnya tapi ingat performnya. Di Buqiet cafe sih gue inget momen nya. Kita pernah kan ya main disitu? Entah kenapa suka aja pas main disitu. Sama yang di Jakarta tuh di SMA mana ya, kita ketemu mas Gilang Ramadhan dan diajak rekaman di studio dia. Sempat dia mau bantu isi drum buat lagu kita.
Alex: Semua memorable sih. Yang memorable biasanya yang ada kejadian lucu. Gue paling lupa tempat karena secara geografis gue jelek dan ga tau jalan. Yang gue inget banget itu crowd yang ga expect musik kita. Pernah juga gue lagi sakit batuk dan belum nemu teknik bernyanyi kalau lagi serak. Ada yang menyarankan gue untuk merokok Samsu biar sembuh batuknya tapi malah makin parah lah hahaha.. Kita bawain lagu “Mars†dan “Vitreus Wish“ crowd langsung loncat-loncat tuh haha..
Pertanyaan terakhir: perbedaan ngeband di Sieve di era ’90an dan sekarang ketika reuni lagi setelah sekian lama?
Riza: Bedanya sih udah pasti kita semua punya kesibukan masing-masing. Jadi mesti bagi waktu dengan kesibukan kita. Kalau dulu kan masih bebas. Ditambah lagi visi musik masing-masing juga makin berkembang dan berbeda. Jadi pastinya kita mesti bisa menahan ego masing-masing karena pastinya banyak selera musik dan referensi yang udah jauh beda antara kita. Bagusnya sih jadi memperkaya aja ya. Mudah-mudahan bisa bikin musik Sieve jadi lebih dewasa.
Rina: Setelah berkeluarga sebenarnya kita selalu bertemu dan kompak walaupun ga ngeband. Yang pasti bedanya kita lebih matured. Dari perform juga pasti nanti fashion nya beda, sudah mengikuti zaman dan umur lah yang pasti. Bener sih kata Riza, visi musik pasti berkemband dan lebih berwarna.
Alex: Kalau dulu tuh kita masih sharing musik bareng, nongkrong bareng tanpa batas waktu nginep di rumah Rina. Pulang manggung hangout sama anak-anak. Kita dulu dengerin Swervedriver, Kate Bush, Billy Bragg , Chapterhouse sampai Sisters of Mercy kalau lagi nongkrong. Kalau sekarang kan udah punya keluarga masing-masing jadi ngumpul agak susah, cari personil aja susah karena networking juga udah gak pernah. Waktu bertukar pikiran juga semakin dikit, jadi kalau ketemu kita brainstorming lebih dalam dan haha-hihi nya dikit. Kalau dulu lebih banyak pesta pora nya hahaha. Karena udah berumur ya lebih matang lah.
Words & interview by Aldy Kusumah
Photos by @jusa666, Satria NB & Sieve’s Archives