Aksara Records sudah merilis berbagai album klasik dan sudah tentu menambah warna ranah musik Indonesia. Sebut saja album-album seperti Sore – Centralismo (2005) & Ports of Lima (2008), White Shoes And The Couples Company – S/T (2005), The Adams – S/T (2005) & V2.05 (2007), Efek Rumah Kaca – Kamar Gelap (2008) dan yang terbaru Bilal Indrajaya – Nelangsa Pasar Turi (2013). Aksara Records juga cukup meledak dengan kompilasi JKT: SKRNG dan OST Janji Joni. Tetapi ada satu orang dibalik Aksara yang jarang tersorot oleh media. Mari berbincang dengan Hanin tentang all things about Aksara Records.
“Kata-kata indie label juga sudah bisa dibilang punahâ€
Halo Hanin, apa kabar? Bisa ceritakan sedikit ga tentang history awal lo bikin Aksara sama David Tarigan dulu sampai sekarang ini Aksara “comeback†untuk pembaca yang masih awam?
Dulu gue punya studio di Brawijaya, lalu gue diajak sama partner gue di Aksara dia mau buka toko buku. Terus gue disuruh manage toko musiknya. Jadi dia minta input-input gue. Orang yang pertama kali gue hire adalah Kumyka dan David Tarigan. Pas lagi jalan David ngasih tau ada band-band baru yang keren dan gue nonton kaya The Brandals, The Upstairs dan mulailah kita bikin-bikin acara di Aksara, Sore dan Mocca main. Lagipula kita juga banyak menjualnya yang rilisan indie-indie aja. Dari situlah kita mulai menciptakan ruang dan komunitas. Kita juga surprise bisa jualan album segitu banyak.
Mengapa kita comeback? Yang pertama kita lihat itu infrastrukturnya sudah jalan buat industri musik. Dan saya liat anak-anak millenial dan gen-z pada cinta sama musik Indonesia ga kaya jaman gue dulu tuh kebanyakan doyan nya hanya international bands. Karena itu kita kangen juga untuk buka Aksara Records lagi. Dan ada beberapa partner baru juga. Pertama Kali sih yang ketuk-ketuk pintu saya itu adalah Ario Kurosuke. Lalu kita bikin event di The Dutch, manggil band-band indie generasi berikutnya kaya Elephant Kind. Jadi intinya kita pengen bikin lagi Aksara seperti dulu dengan spirit yang baru.
Aksara Records lahir setelah Aksara Bookstore, dan memang musik dan buku yang disajikan di toko Aksara itu sangat well-curated, sampai ke display dan background music yang dimainkan di toko. Sebenarnya apakah lo hanya mempercayai taste lo untuk mengkurasi ataukah sedikit mengikuti pasar dunia juga pada saat itu?
Aksara Records sekarang itu.. Gue juga baru sadar ternyata Aksara itu namanya masih ada. Logo juga kita perbaharui karena kita perlu nafas baru. Aksara yang lama juga kita bebas aja sih yang penting lagu-lagunya bisa didengar sama semua. It’s all about the songs, masalah genre lo reggae atau metal kita terima. Intinya you have to sell your products. Bilal aja beda sound nya sama yang lain. Kurosuke pun berbeda. Cuma lagunya itu bagus, liriknya bagus, sangat melodius, dan sangat bisa dijual. Itu yang paling penting.
Mengutip Nick Hornby di High Fidelity; “What really matters is what you like, not what you are like… Books, records, films – these things matter.†Karena lo terlibat di Aksara yang meliputi records dan bookstore, menurut lo seberapa penting peran buku, film dan album musik itu di dalam hidup seseorang?
Buat gue penting banget itu semua: musik, buku dan film. Everything is related and it says a lot about you. Itu semua membuka cakrawala di sekelilingmu. Apa yang terjadi diluar sana. Sekarang lebih gampang lagi, internet udah kenceng bro. Informasi bisa didapat dengan mudah. Buat gue kita bisa relate lebih dengan informasi-informasi yang didapat dari semua itu (buku, film, musik, dll).
Memang sulit untuk memilih, tapi apa aja top 6 Rilisan Aksara yang menjadi personal favorites lo?
1. Sore – Centralismo (2005)
2. Sore – Ports of Lima (2008)
3. WSATCC – S/T (2005)
4. Bilal Indrajaya – Nelangsa Pasar Turi (2013)
5. The Adams – S/T (2005)
6. The Adams – V2.05 (2007)
Di pandangan lo, record label seharusnya lebih fokus ke produksi dan distribusi album atau harus juga mencakup artist management dan Event Organizer?
Ini agak sulit. Kalau kita sih ingin membuat “keluargaâ€. Kita punya spirit yang sama dengan roster band kita, we sound the same, sama-sama melawan pasar dan we support each other. Kata-kata indie label juga sudah bisa dibilang punah. Band-band kaya Sore dan White Shoes udah menjadi mainstream, udah ga ada bedanya gitu, cuma bagus dan tidak bagus paling sekarang ukuran nya. Menurut saya label itu harus komplit, yang pasti events harus dikerjakan karena itu main revenue, merchandise itu nomer 2, dan music is basically the marketing tool to sell the artist. Tapi kan sekarang paling banyak dari online jadi bisa dibilang ada mundurnya juga. Apakah kita harus punya event organizer sendiri sebagai label? Ya. Jadi Aksara itu dibagi 3 departemen: Label dikepalain sama Ario, event yang dikelola saya dan merchandise di handle partner kita Caca. Kita baru launch merch baru di Brightspot dimana pendekatan nya lebih ke fashion label. Sampai ada korek dan lain-lain.
Kompilasi JKT: SKRG yang dirilis pada tahun 2004 mungkin adalah salah satu benchmark penting di pemetaan musik independen Indonesia. Bisa elaborasi sedikit mengenai konsep kompilasi dan sedikit field notes cerita-cerita unik pada saat penggarapan nya?
Ini sangat penting karena kompilasi JKT SKRG adalah dokumentasi scene Jakarta pada saat itu. Kita dokumentasikan dalam bentuk sebuah kompilasi, dan menawarkan band-band keren ini ke masyarakat yang lebih luas lagi. Apalagi live nya, band-band ini lo harus liat live nya. Pada momen itu kita dianggap gila. Lalu kita launch di Citos yang notabene adalah tempat mainstream. Semua band main 3 lagu dan the rest is history. Lalu band-band di kompilasi itu ditarik Nia Dinata untuk soundtrack film Janji Joni. Akhirnya meledak lah band-band dan artist-artist tersebut yang terlibat di film itu. David Tarigan sebagai A&R yang mengkurasi kompilasi itu, ada lagu yang dipilih dan sudah jadi, lalu ada yang khusus beberapa band merekam lagu baru juga. It’s the most fun process, karena itu adalah album kompilasi pertama yang kita bikin.
Pada saat Aksara digandeng oleh Nia Dinata untuk menggarap dan mengkurasi Soundtrack film Janji Joni, apa aja konsep awal yang terlintas di benak lo untuk soundtrack film remaja? Dan bagaimana reaksi publik pada saat itu?
Basically Nia Dinata datang ke toko Aksara Kemang, kebetulan ada saya, “Darimana teteh?â€. Dia bilang mau bikin filmnya Joko Anwar cuma lagunya ga ada yang cocok dengan nafas filmnya. Film anak muda dan kebetulan nama karakternya Joni. Aku tawarkan dia untuk dengerin kompilasi JKT SKRG. Lalu dia nelfon gue dan mau, apalagi si TDS nyanyi lagu Johnny in my Head dan langsung dipake jadi theme song nya Janji Joni. Nafasnya juga cocok banget sama filmnya, dimana film itu adalah potret keadaan Jakarta dan anak muda pada saat iu.
Aksara comeback dengan merilis koleksi 2004-SKRG yang meliputi beberapa artikel fashion yang juga berhubungan dengan Bilal Indrajaya dan Kurosuke sebagai roster terbarunya. Bisa ceritakan sedikit mengenai penggarapan koleksi ini dari segi konsep, design dan timing release nya?
Sebenarnya itu 2004-SKRG itu adalah design dan konsep dari Caca dan new partners kita, Fahmi. Fahmi lebih tau prosesnya jadi kalau mau sih bisa tanya dia juga. I think he does a good job using that name for the collection. Koleksi itu menceritakan perjalanan Aksara Records dari awal sampai sekarang. Kalau merch yang sekarang itu lebih kita treat sebagai fashion label daripada daripada sebagai merch musik biasa. Partner-partner saya Caca dan Fahmi juga background fashion nya sudah cukup malang-melintang, juga berpengalaman. I trust their fashion taste and designs. I’m very pleased to see their collection, and hope to see more.
Roster Aksara yang legendaris dari WSATCC, The Adams, The Upstairs, Sore, Goodnight Electric sampai Efek Rumah Kaca secara tidak langsung membentuk selera pasar musik independen di Indonesia. Apa yang ingin lo tambah untuk khasanah musik Indonesia ke depan nya dengan Aksara Records?
Basically thank you banget kita bisa dibilang membentuk selera pasar musik independen Indonesia. We we’re at the right time, memang pada saat itu musik dan band-band lagi pada keren semua. Sekarang juga lagi banyak banget band-band keren di Indo. We try to bring the best songwriters yang bisa produksi musik yang bagus, band yang solid dan visual yang bagus. Itu rumus yang biasa kita pake sih. Semoga kita bisa memberi warna baru untuk pemetaan musik Indonesia. Label-label baru keren banget, band-band baru bermunculan sampai jadi kover NME. Dari dulu itu yang kita paling senang adalah memproduce musik-musik yang kita sukai. Kita hanya mencoba memproduce satu-satu dan berproses dari hari ke hari, semoga bisa diterima di pasar Indonesia, itu ajd udah cukup ga muluk-muluk.
Di era kontemporer ini, apakah menurut lo diskursus mengenai genre dan indie label / major label masih relevan? Bisa elaborasi mengenai ini?
Emang udah ga perlu lagi ada pelabelan indie dan non-indie. Sekarang ini basically we’re all the same lah. There’s enough pie for everyone, musik Indonesia itu banyak, informasi cukup cepat dan gampang di era internet ini. Indie label atau major label sama aja sih seharusnya sekarang kalau menurut gue. Independen itu kasarnya ga ada aturan, there’s no rules yang harus diikuti. Mungkin juga seharusnya mainstream label harus lebih hati-hati apalagi yang internasional, tanggung jawab nya besar untuk mendapat target sales yang cukup besar. Kalau kita memang ada target dan angka juga, cuma kita lebih relax dari mereka secara operasional.
Pertanyaan terakhir: apakah menurut record label masih relevan di era dimana bedroom musicians bisa merilis karyanya sendiri di layanan streaming? Ataukah rilisan fisik tetap harus menjadi budaya utama dalam mengkonsumsi musik?
Bener-bener, emang sebenernya label itu udah ga relevan lagi sih. But what we’re trying to do and miss so much is basically helping bands and artist yang perlu producer / executive producer yang bisa sejalan ama label kita secara warna, ada benang merahnya. What we’re trying to do is to make families, have fun together, make music, maybe tour together. Itu sih yang missing dari aksara records dulu yang kita rasakan, proud to be in a label. Ga muluk-muluk sih. I know what you mean, Semua orang kalo punya gitar dan tempat recording dan komputer sendiri bisa langsung masuk ke Spotify sih. Tapi kita coba menawarkan sebuah payung dan sebuah rumah so we can create things together and just have fun and hang out together. We’ll just have fun basically.
We have two event IP’s, satu international, satu sama Lamunai namanya Plug & Play, satu lagi Sunday Music Club, partner kita Cork & Screw Senayan. Bawa artist internasional setiap tahunnya. So that’s about it, that’s Aksara Records for you. Semoga cukup penenarangan nya ini semua hahaha..
Words & interview by Aldy Kusumah
Photos taken from Hanin / Aksara’s Archives