Gergasi Api adalah duo yang diperkuat Ekyno (Full of Hate, Plum) dan Alexandra J. Wuisan (Sieve, Cherry Bombshell). Mereka baru saja merilis debut albumnya “Red Knight†via Lawless Records. Sebuah debut album yang atmosferik, dan dipenuhi elemen-elemen dari post-metal, industrial, dream pop, shoegaze dan ambient electronica. Tentu saja album ini gelap, apalagi mereka mengajak illustrator Morggth dari Rajasinga untuk menghiasi kover dan booklet albumnya. Mari berbincang dengan Alex dan Eky jika kalian penasaran dengan 3 album apa saja yang akan mereka bawa jika terdampar di sebuah pulau kosong..
“Bikin album tapi ga ada rilisan fisik kayak gimana gitu ya, walaupun kita tau industri nya sekarang lagi ke streaming online kita tetap berprinsip kalau rilisan itu harus ada bentuk fisiknyaâ€
Halo Gergasi Api, congrats atas perilisan debut album nya! Apa kabar? Sedang sibuk mengerjakan apa saja nih sekarang?
Alexandra: Halo Jeurnals. Kabar baik. Terima kasih sudah mau mewawancarai kami. Kami sedang mempersiapkan diri untuk showcase.
Ekyno: Kita lagi mau bikin video kedua juga, lagi mikirin konsepnya..
Kalian kan datang dari background yang cukup berbeda, dimana Alex sebelumnya bermain di genre dream pop dan goth rock (Cherry Bombshell, Sieve), dan Eky di hardcore / industrial (Full Of Hate, Plum). Apa yang menyatukan kalian di Gergasi Api? Kalian lebih nyaman disebut sebagai band apa? Post metal mungkin?
Alexandra: Ini menariknya. Konsep Gergasi Api semenjak awal memang akhirnya, sesuai proses berkarya adalah menitikberatkan pada eksperimen menggabungkan polaritas karakter-karakter yang muncul dari eksplorasi bermusik kami. Banyak unsur selain post metal. Karena alur bermusik kami dalam satu lagu pun bisa berubah. Unpredictable.
Ekyno: Karena memang kita dulu di Bandung satu tongkrongan, bisanya kita saling support dan gue pun dengerin banyak genre, termasuk dream pop dan shoegaze. Dari dulu gue memang doyan vokalnya Alex, emang bisa nyanyi dia hahahahah. Kalo genre… Hmmm disebut post metal ga juga sih, kalo terinfluence iya. GA lebih ke experimen sih… Bebunyian dan mengexplore lebih jauh vokalnya Sandra juga, dulu kan vokal Sandra lebih ngambang, karena tuntutan musiknya juga kali…. Sekarang kita maksimalkan skill bernyanyi nya Alex, lebih lugas. lebih berwarna lah. Yang menyatukan nya apa Lex? Hahaha.. Mungkin ternyata kita punya kesamaan visi dalam bermusik, pengen bikin sesuatu yang baru, at least menurut kita.
Alexandra: Nah iya ini penting. Visi kita sama. Sangat “rare” menemukan “jodoh” berkarya musik seperti Eky. Chemistry kita sangat spot on. Nah ini chemistry penting. Skill kreativitas dan eksplorasi Eky menggabungkan influence-influence yang ada menjadikan sesuatu yang baru gila sih. Bukan type copy paste dia. Avantgarde orangnya. Hahaha..
Gergasi Api itu dimulai dari kapan? Apakah ini proyek pandemi dimana biasanya orang-orang lebih produktif berkarya disaat pandemi?
Ekyno: Cikal bakalnya GA sebetulnya harus ditarik jauh ke tahun 200, ketika gue bikin projek musik sendiri, dan gue pengen Alex ngisi vokal salah satu lagunya, tapi ga kesampean….. Hahaha.. Kemudian pas mulai pandemi, disaat stress melanda gue coba bikin lagu lagi. Dapet beberapa lagu dan gue teringat sama Alex lagi untuk mengisi satu lagu. Berharap WA gue dijawab, karena kita udah lama banget ga kontakan….. Eh ternyata dijawab… Dan dia semangat mau bantuin.
Dari situlah kita intens lagi kontakan sampe akhirnya tercetus… Apa buat band aja ya? Lagu pertama yang jadi cikal bakal GA itu yang judulnya “Sacred Secondâ€, tadinya bukan lagu buat GA. Untuk menyesuaikan dengan konsep GA kemudiaan gue aransemen ulang.
Alexandra: Pas banget momentumnya gua pengen bermusik lagi, Eky kontak kasih lagu kerangka “Sacred Second†untuk proyek solonya “Puerta”. Dia nge-push gua juga untuk bervokal tidak seperti sebelum-sebelumnya. Begitu mendengarkan lagunya, langsung merasa, nah ini, tantangan baru. Sulit tapi berasa “at home”. Lagu-lagu Eky, terdengar sophisticated dari awal, baik konsepnya mau raw maupun polished.
Kalian lebih prefer mana kalau boleh memilih: Jadi band yang prolifik merilis karya atau band yang sering manggung dan tour?
Ekyno: Kalo gue pribadi sekarang…. Pengen manggung / tour…. Tapi mungkin intensitasnya tidak terlalu padat, karena gue pun ada pekerjaan lain. Tapi dengan rilisnya album inipun buat gue sudah sebuah pencapaian, jadi let see lah ini akan kemana. Kurang afdol juga kalo ga mnggung ya hehehe..
Alexandra: Yes setuju. Kalau bisa seimbang. Tapi seperti yang Eky bilang, sesuai flow sajalah. Kita bukan band ngoyo, tapi bukan pemalas juga. Yang pasti karena visi kita sama, segala sesuatu sampai saat ini berjalan sesuai dengan hasrat bermusik kita. Semua dipertimbangkan secara matang. Sesuai momentum.
Kenapa memilih Lawless Records untuk merilis album debut kalian? Awalnya gimana ceritanya proses nawarin ke Lawless?
Alexandra: Lawless Jakarta Records sudah kami incar sedari dulu sebenarnya. Karena kami berpikir ada kontribusi baru yang bisa kami tawarkan lewat musik kami yang eksploratif dan berkembang. Kami juga cocok dengan cara kerja Lawless yang jernih, jelas dan detail dari awal. Selain rilisan fisik yang selalu hasilnya maksimal. Ini salah satu alasan yang kita kejar. Kerjasama Morrgth sebagai desainer dan seniman untuk cover juga cocok dengan konsep Lawless.
Ekyno: Bikin album tapi ga ada rilisan fisik kayak gimana gitu ya, walaupun kita tau industri nya sekarang lagi ke streaming online kita tetap berprinsip kalau rilisan itu harus ada bentuk fisiknya dengan artworknya. Karena semua menjadi satu kesatuan yang ga bisa dipisahkan menurut gue. Menikmati cover art dan content nya sambil mendengar musiknya adalah sebuah kesatuan konsep dan Lawless masih true seperti itu. The old ways.
Kenapa memilih artwork dikerjakan oleh Morrgth? Tema-tema apa saja yang kalian angkat di artwork dan lirik-lirik lagu kalian?
Alexandra: Hahaha… Morgan atau Morrgth selain memiliki gaya ilustrasi seni yang kita suka, dia dapat menginterpretasikan konsep musik dan lirik dengan unsur simbolik yang dia serap menjadi sesuatu kesatuan yang epic. Warna dan nuansa sesuai warna musik juga yang dibuat Eky. Temanya sesuai storytelling yang gua buat. Nah ini panjang…
Storytelling bisa didapat di poem per lagu dan liriknya. Bebas interpretasinya sesuai visual yang dipersembahkan Morgan buat album “Red Knight”. Asik lagi maen tebak-tebakan hihihi.. Unsur mitologi dan spiritual sangat kencang. Overall perjalanan, Death/Life cycle ruh yang kita bisa relate, with mythical/psychological/spiritual journey.
Pertanyaan terakhir: jika kalian terdampar di suatu pulau, 3 album apa yang akan kalian bawa dan kenapa?
Alexandra: Terus terang jarang lho gua suka seluruh musik di satu album. Tapi emang ada beberapa album yang hampir seluruh musiknya gua suka. Seperti:
1. Florence + The Machine – “Dance Fever”, Biar semangat hidup, cari cara keluar dari pulau.
2. Emma Ruth Rundle – “Engine of Hell”, When all hopes seemed all gone, siap jadi orang “gila” sesaat biar kembali “waras”.
3. Playlist Kpop yang gua bikin. Stress ga sih terdampar di pulau. Hahaha
Ekyno:
1. David Bowie – “Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders From Marâ€s
2. Killing Joke – S/T
3. Black Sabbath – S/T
Semuanya merupakan album yang buat gue membawa perubahan setelahnya, progresif, lebih maju dari zamannya.
4. Faith No More – “Angel Dustâ€, Kalau boleh nambah satu ini juga deh, ga bosen-bosen juga denger nya.
Text by Aldy Kusumah
Photo from Gergasi Api’s archives