Sebagai seorang wibu anime/manga kasual yang tidak terlalu menggebu untuk melahap banyak karya dari ranah itu, saya sebetulnya tidak terlalu neko-neko untuk urusan detail di berbagai aspek dalam lingkupnya. Contoh paling sederhananya, ada beberapa kawan wibu saya yang bisa merasakan perbedaan guratan gambar tangan dari sang ilustrator di sebuah anime atau manga dan dia menganggap perubahan guratan tersebut sangat mempengaruhi kenikmatannya akan produk budaya pop asal Jepang tersebut. Ketika ia mencoba memperlihatkan dan menjelaskan kepada saya akan aspek yang berbeda itu, saya malah geleng-geleng kepala karena jujur saya tidak melihat adanya perbedaan. See? That’s why you can really call me as a casual weeaboo. I don’t really care about small details like that.
Tapi meski saya dengan bangga mengklaim bahwa diri saya adalah penikmat karya-karya anime serta manga yang ‘santai’, ada satu hal yang lumayan masih mengganggu saya dari ranah tersebut: saya masih punya prasangka buruk akan live-action anime adaptation. Itu lho, adaptasi film yang berbasis dari anime atau manga tapi diperankan oleh manusia sungguhan – mau seabsurd atau sekolosal apa pun animenya, tetap diperankan oleh manusia.
Mungkin paparan saya di atas terkesan berlebihan alias lebay, tapi saya tak mengada-ada. Konteks terdekat yang baru terjadi akhir-akhir ini adalah ketika saya mencoba untuk menonton live action One Piece dan JoJo’s Bizzare Adventure di Netflix. Untuk versi anime dan manganya, saya lumayan menyukai dua judul tersebut – tapi ketika menyaksikannya dalam format live-action, ugh, saya bak baru saja membuang waktu dan ruang di otak saya untuk sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan.
Untuk konteks dengan gambaran yang lebih besar, coba ingat akan film adaptasi live-action Dragon Ball: Evolution besutan sutradara James Wong di tahun 2009 silam. Film tersebut flop di pasaran dari segi penghasilan serta tumpah ruahnya ulasan buruk mengitarinya. Kurang cukup contohnya? Silahkan delik sendiri info seputar film live action macam Death Note (2017), Avatar: Last Air Bender (2010) atau bahkan Attack On Titan (2015). Semuanya relatif tak sukses di pasaran dan dikecam oleh banyak orang – bahkan orang-orang di luar fandomnya sendiri yang terbilang normies.
Tapi di sisi lain, ada pula live-action anime/manga adaptation yang berhasil menangkap esensi dari karya sumbernya lebih efisien lewat format lebih ‘nyata’ tersebut. Sebut saja film adaptasi dari Beck: Mongolian Chop Squad (2010), beberapa film adaptasi Rurouni Kenshin (alias Samurai X), Gintama (2017) atau Assasination Classroom (2015) – semua film itu terbilang aman dari segi penjualan mau pun reputasi karyanya. Kecaman para wibu puritan mungkin akan tetap ada tapi setidaknya tidak separah seperti beberapa contoh yang saya paparkan di paragraf sebelumnya.
Lantas apakah live-action anime adaptation layak ditonton atau tidak? Lalu sebetulnya apakah yang membuat kebanyakan adaptasi film macam itu tidak berhasil?
Sejauh pengamatan dan pengalaman saya dari menonton banyak film dari ceruk tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi akan keberhasilan dan tidak berhasilnya sebuah film live-action anime. Ingat semua parameter ini bersifat personal, jadi jangan berekspektasi banyak akan kesahihan sudut pandang ini. But anyway, here goes something.
Terlalu banyak unsur bombastis di anime yang tak tervisualisasi di live-action
Mulai dari efek hancurnya kota karena pertarungan sengit antara dua manusia berkekuatan super yang saling menembakan laser dari tangan kosongnya sampai ekspresi muka absurd yang tak mungkin tergambarkan secara efektif oleh raut wajah manusia di kehidupan nyata, nyatanya media gambar atau animasi memang yang paling efektif untuk menggambarkan itu semua.
Meski kini teknologi CGI sudah semakin canggih dan berbagai macam efek visual sudah semakin berkembang, rasanya tetap saja aspek medio 2-dimensi tak akan pernah bisa diterjemahkan ke media yang berlandaskan format 4-dimensi.
Perkembangan karakter dan ruang lingkup dunia animenya seringkali diabaikan
Mungkin kalau yang menonton live-action-nya adalah normies yang cukup menganggapnya sebagai sekedar hiburan tak akan terlalu memperhatikan aspek ini. Tapi ketika penontonnya adalah fans dari sumber karya adaptasinya biasanya akan menyadari bahwa ada beberapa aspek yang ojol-ojol muncul. Tapi tentu adaptasi-serba-cepat ini bisa sangat dipahami mengingat harus ada efisiensi dari segi durasi dan format untuk menekan banyaknya plot atau pun karakter yang bertaburan di sumber karya adaptasinya. Apalagi kalau adaptasinya berformat film standar durasi 1-2 jam.
“Kok tiba-tiba setting-nya di sini?â€, “Lah kok dia tiba-tiba jahat?â€, “Lah harusnya kan karakter ini muncul setelah ketemu si ini?â€. Racauan akan acuan terhadap sumber karya aslinya akan merusak semua tayangan sajian si live-action dengan begitu mudah.
Menyambung akan ketimpangan yang direspon oleh penonton yang memang mengharapkan lebih dari kredibilitas adaptasi dari sumber karya aslinya. Poin selanjutnya adalah…
Target selera penonton adaptasi live-action masih super liar
Memang sulit untuk menyenangkan semua orang – apabila dari sudut pandang selera akan suatu karya. Tak hanya musik, ranah gambar bergerak alias film pun seperti itu. Selera adalah satu hal dari kehidupan manusia yang tak bisa diatur. Dalam konteks live-action anime adaptation pun seperti itu – ada yang memang menyukai karya tersebut dan menerima perubahan yang memang menjadi hasil terjemahan visualisasi dari karya sumbernya, ada pula yang memang demanding akan keabsahan beberapa aspek yang harus ditampilkan dari sumber karya adaptasinya.
Tapi berbicara soal keabsahan dan terjemahan visualisasi yang harus serba sesuai dengan sumber karyanya, biasanya permasalahan itu terjadi ketika live-action mengadaptasi karya yang terlalu bombastis dari segi guratan gambar, narasi atau pun ruang lingkup dunia di dalam karyanya – contoh paling sederhana soal itu adalah ketika biasanya sumber karyanya bergenre fantasy lengkap dengan berbagai penokohan yang larger-than-life dan aspek-aspek pelengkapnya terlalu ngawang untuk diterjemahkan dengan visualisasi di dunia nyata.
Tapi kalau mau ditelusuri lebih detail, sebetulnya ada juga live-action adaptation yang berhasil – tapi biasanya dari genre slice of life atau yang latarnya memang mendekati dengan dunia nyata. Film-film macam Beck, I Am A Hero, Solanin atau apa pun anime/manga yang landasan dunianya masih dekat dengan dunia nyata dan minim efek-bombastis-dan-keabsurdan-larger-than-life adalah bentuk adaptasi yang tetap disukai oleh berbagai kalangan – baik normies atau pun weeaboo akut.
Jadi rasanya, pembahasan soal live-action adaptation ini bisa diambil jalan tengahnya melalui adaptasi yang memang sumber karyanya masih terkesan realistis. Tapi entahlah, selling well or not, pada akhirnya semua itu kembali ke industri. Tak ada yang pernah tahu manuver industri yang memang punya niatan awal hanya untuk menunggangi IP yang sudah ada atau memang memperhatikan hal-hal detail macam tadi yang dipaparkan. I guess as long as it goes, we can’t really expect anything.
So what do you think? Is it a nay or yay?