Dari film-film kelas Oscar, art-house, film horror independen, animasi, sampai action film action, menghiasi deretan film-film favorit JEURNALS untuk tahun 2023 ini yang sangat bervariasi. Ini adalah beberapa film yang sangat stand-out di tahun ini.
The Killer (Dir. David Fincher)
Michael Fassbender berperan sebagai pembunuh bayaran yang akhirnya menjadi target setelah pekerjaannya gagal. Sebuah thriller prosedural dari David Fincher (Seven, Fight Club, Gone Girl) yang presisi selalu menarik untuk ditonton. Fassbender dengan piawai memainkan seorang pembunuh bayaran yang dingin dan penuh kalkulasi. Melihat Fassbender melakukan gerakan yoga sambil mendengarkan The Smiths di film ini sangat menghibur dan meresahkan di saat yang sama.
Barbie (Dir. Greta Gerwig)
Anda tidak akan menemukan kritik terhadap pabrik mainan Mattel dalam Barbie karya Greta Gerwig, namun ada pesan-pesan self-empowerment, kritik terhadap budaya patriarki dan sedikit feminisme yang penting untuk diamini para penonton wanita dan para ayah yang mempunyai anak perempuan. Beberapa lelucon Greta lucu (Stephen Malkmus dan Pavement di-mention Ryan Gosling di sebuah dialog dan cuma saya sendiri yang tertawa di bioskop) dan ada beberapa yang cringe, tetapi tempo film yang cepat dan keberhasilannya untuk menampilkan hal-hal spektakuler membuat film ini fun untuk ditonton. Akting penuh komitmen Robbie dan Gosling membuat film ini tetap bertahan sampai end-credits akhir. Berdasarkan hukum karma box-office, setiap daftar film-film terbaik 2023 yang menyertakan “Oppenheimer†karya Christopher Nolan juga harus menyertakan Barbie karya Greta Gerwig, dan sebaliknya. Bagi siapa pun yang hidup hingga tahun 2023, keduanya akan selamanya bersatu dalam sebutan “Barbenheimerâ€. Barbie bahkan bukan film Greta Gerwig favorit saya (Little Women!!) — Tetapi apa pun yang dilakukan Gerwig selanjutnya, akan saya tonton dan tentunya akan saya tunggu.
Suzume (Dir. Makoto Shinkai)
Angin puyuh monster bertentakel, portal antar dimensi, dan kursi berbicara membentuk dunia fantasi supernatural yang menakjubkan dari sutradara Your Name & Weathering With You ini. Lupakanlah era emo Makoto Shinkai dalam “5 Centimeters per Second†dan “Garden of Wordsâ€, disini imajinasi Shinkai akan menyajikan visual yang sangat indah dan superficial. Tetapi momen-momennya yang lebih membumi tetap sama indahnya.
Talk to Me (Dir. Danny & Michael Philippou)
Horor remaja era media sosial ini menarik perhatian dengan bantuan tangan keramik jahat yang memungkinkan makhluk hidup dirasuki oleh roh tanpa tubuh. Sebuah ide yang segar dan eksekusi yang sangat efisien, “Talk to Me†berhasil meng-elevate ide-ide cerita dimana karakter-karakter bermain dengan jelangkung atau papan Ouija. Luapakanlah jump-scare murahan dari James Wan dan sambutlah duo sutradara horror pendatang baru ini.
Anatomy Of A Fall (Dir. Justine Triet)
Drama psikologis pemenang Palme d’Or yang sangat cerdas ini mengadili seorang istri yang dicurigai bertanggung-jawab atas kematian suaminya yang kejam. Sang istri Sandra mempertahankan kepolosannya, namun ia adalah seorang wanita yang cerdas sehingga ‘polos’ bukanlah label yang cocok untuknya. Dalam setiap reaksi simpatik, ada sedikit manipulas dalam diri Sandrai; dalam setiap flashback penuh amarah, sekilas terlihat sesuatu yang dingin… Di antara dua kutub absolut antara ‘bersalah’ dan ‘tidak bersalah’ terdapat spektrum kesalahan dan keterlibatan yang beragam. Anatomy of a Fall menavigasi kekeliruan moral ini dan mengungkap absurditas dalam mencoba mengambil keputusan biner yang sederhana darinya. Film ini adalah contoh bagaimana sebuah film bisa berhasil dalam beberapa genre sekaligus: Sebagai film thriller menegangkan yang membuat penonton terus bertanya siapa-, bagaimana-, dan mengapa hingga frame terakhir dan seterusnya, sebagai drama ruang sidang yang menegangkan, dan sebagai potret pernikahan yang retak dilihat dari serangkaian perspektif yang sedikit berubah. Sutradara Justine Triet berhasil membuat durasi dua setengah jam dari misteri pembunuhan art-house ini terasa lebih pendek daripada satu jam episode serial TV.
Oppenheimer (Dir. Christopher Nolan)
Epik sci-fi Christopher Nolan yang (sangat) serius tentang ‘bapak bom atom’ J. Robert Oppenheimer ini berfokus pada konfrontasi ruang sidang yang bertele-tele, tetapi sentuhan visual yang indah – dan penampilan introspektif Cillian Murphy yang layak dapat piala Oscar – menempatkan “Oppenheimer†jadi salah satu karya terbaik Christopher Nolan. Oppenheimer dengan cermat mewujudkan dunianya, mulai dari ruang kelas Berkeley hingga uji coba bom Trinity. Scoring Ludwig Göransson terus berlanjut; string-stringnya yang melengking dan crescendo yang obsesif membawa film ini ke level yang lebih indah. Sebuah pencapaian yang berhasil dari sisi narasi, teknis, visual dan suara. Siapa yang tidak merinding pada saat Oppenheimer berhasil meledakan bom atomnya dan membayangkan korban-korban dari pencapaian ilmiahnya?
Past Lives (Dir. Celine Song)
Chemistry instan bukanlah segalanya dan tolak ukur dalam urusan cinta. Film pertama Celine Song ini secara diam-diam berhasil menumbangkan konvensi romantic-comedy dengan cemerlang. Yang lebih luar biasa lagi adalah perlakuan seimbang dari kedua karakter pria di film ini, kegagahan mereka memungkinkan mereka diperlihatkan sebagai 2 pria yang menginginkan wanita yang sama, namun siap melepaskan wanita tersebut jika wanita itu menginginkannya. Sebuah drama yang sangat grounded dan di shot dengan indah, dimana penonton akan terbawa di momen-momen intim ketiga karakter tersebut dan turut merasakan keresahan, kesedihan dan closure yang diberikan film ini.
The Boy And The Heron (Dir. Hayao Miyazaki)
Film baru Hayao Miyazaki yang mistis – yang tidak lagi menjadi ‘yang terakhir’ – adalah pengalaman yang mendebarkan dan menyajikan hingar-bingar yang secara bertahap membuka diri terhadap sesuatu yang besar, bahkan apokaliptik. The Boy and the Heron adalah kisah tentang perlunya seseorang mengakui dan menerima tanggung jawab – Saya melihat ini adalah tentang dunia Studio Ghibli yang lahir dari imajinasi liar Miyazaki, dan bisa hancur seketika tanpa ada penerusnya. Sebuah dialog antara Miyazaki dengan inner childnya, dan sebuah metafora fantastis tentang menerima kematian. Semua ini divisualisasikan melalui serangkaian lanskap surealis dan berskala epik, tentunya dengan scoring Joe Hisaishi. Memang bukan karya terbaik Miyazaki, tetapi animasi mana yang bisa menandingi The Boy and the Heron di tahun 2023 ini?
Killers Of The Flower Moon (Dir. Martin Scorsese)
Epik berdurasi tiga jam ini bukanlah potret gangster stylish ala “Goodfellasâ€, neo-noir ala “Taxi Driver†ataupun horror psikologis seperti “Shutter Islandâ€â€” mungkin bagi seorang pembuat film ulung berusia 81 tahun yang masih selalu mencari cerita baru untuk diceritakan, ini adalah sebuah mahakarya epik. Mahakarya Scorsese yang terakhir ini adalah kisah epik yang diceritakan secara mendalam tentang “perampokan†dan pembunuhan sistematis terhadap suku Indian Osage di Oklahoma, Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Ini adalah kisah nyata tentang suku Osage yang terpaksa menyaksikan pemberantasan mereka sendiri dan tidak berdaya untuk menghentikannya. Dan pusat moralnya adalah Mollie Burkhart yang diperankan dengan sangat baik oleh Lily Gladstone: seorang wanita yang terpecah antara keluarga tempat dia dilahirkan dan keluarga yang dia buat (karena dia menikahi pria kulit putih). Sebuah pertanyaan: Seberapa bagus film yang ingin kamu tonton? Pilihan Scorsese untuk membingkai pembunuhan berantai beberapa lusin orang Osage di Oklahoma tahun 1920-an dari sudut pandang pemukim kulit putih yang mengorganisir pembunuhan tersebut bagi saya bukan hanya pilihan yang dapat dipertahankan, tetapi juga pilihan yang berani. Yang terpenting, ini adalah film tentang kulit putih, ini hanya sepenggal kisah kebrutalan sejarah kulit putih Amerika, dan tentunya secara tidak langsung Scorsese menceritakan kepada penonton bagaimana sejarah Amerika yang dibangun dengan darah.
The Zone Of Interest (Dir. Jonathan Glazer)
Potret seorang komandan Jerman dan keluarganya di Auschwitz dari seorang Jonathan Glazer tentunya akan sangat menarik. Mungkin kalian mengenal Glazer dari direksi uniknya di video klip Radiohead, Blue, Massive Attack dan Jamiroquai, Jonathan Glazer juga sudah mendirect 3 film yang cukup “nyeleneh†sebelum mendirect film ini (“Birthâ€, “Sexy Beastâ€, “Under The Skinâ€). The Zone of Interest pada dasarnya adalah drama rumah tangga seorang perwira Nazi dan keluarganya, dimana mereka tinggal di sebuah rumah yang terisolasi dari kekejaman Auschwitz (mereka tetap mendengar suara-suara mengerikan dari Auschwitz tetapi secara “visual†mereka tidak melihat kekejaman Auschwitz secara langsung). Film ini adalah adaptasi dari novel karya mendiang Martin Amis yang menempatkan pemirsa di dalam pernikahan pasangan kehidupan nyata, komandan Auschwitz Rudolf Höss (Christian Friedel) dan istrinya Hedwig (Sandra Hüller. Keluarga Höss tinggal di dekat tembok batu tinggi yang memisahkan kompleks mereka dengan lokasi kamp konsentrasi Nazi. Meskipun bukti mengerikan mengenai pembunuhan massal yang terjadi di sebelahnya ada di mana-mana, Glazer tidak pernah mengizinkan kita melihat sekilas apa yang ada di baliknya. Yang membuat film ini mengerikan adalah bagaimana kejahatan murni itu bisa ada di orang-orang “biasaâ€.
Monster (Dir. Hirokazu Koreeda)
Siapa monsternya? Apakah kamu? Dia? Atau Saya? Ketika pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu pikiran kita, tentunya ini adalah film yang harus ditonton lebih dari satu kali. “Monster†adalah sebuah karya Hirokazu Koreeda yang berhasil (lagi) setelah sutradara Jepang ini mendapatkan kesuksesan mainstream dari “Shoplifters (2018)†dan “Broker (2022)â€. Monster adalah sebuah cerita yang melingkupi pertanyaan-pertanyaan ini, mengundang kita untuk bertanya mengapa/apa yang disakiti/disembunyikan oleh protagonis bernama Minato, saat dia berjuang untuk tumbuh sebagai anak tunggal dari seorang ibu tunggal, merindukan ayahnya yang sudah meninggal, mengalami intimidasi di sekolah dan hal-hal lainnya yang tentu akan menjadi spoiler bila saya sebutkan di resensi ini. Begitu banyak kemungkinan yang terungkap melalui struktur narasi multiperspektif ala Reservoir Dogs-Tarantino atau Rashomon milik Akira Kurosawa. Keluarga biasanya merupakan tempat berlindung yang aman, tetapi Minato malah menemukan tempat perlindungan dalam persahabatannya dengan sesama ‘monster’ bernama Yori. Dunia indah di mana hutan dan danau bergaya Miyazaki menjadi tempat bermain bagi anak-anak lelaki yang melarikan diri dari sakit hati karena dikucilkan. Di sana, mereka menemukan kenyamanan, dan akhirnya keselamatan, ‘dilahirkan kembali’ dengan harapan akan awal yang baru. Saya berharap saya dapat menonton ulang film untuk pertama kalinya lagi. Satu kata kunci: filmnya tentang “kesalahpahamanâ€, Bagaimana dua anak, seorang ibu, seorang guru, dan seorang sutradara dapat membuat alur cerita sebuah film menjadi begitu unik?
Honorable Mentions:
The Holdovers (Dir. Alexander Payne)
Infinity Pool (Dir. Brandon Cronenberg)
TÃR (Dir. Todd Field)
Poor Things (Dir. Yorgos Lanthimos)
Asteroid City (Dir. Wes Anderson)
Beau is Afraid (Dir. Ari Aster)
Showing Up (Dir. Kelly Reichardt)
Night of the 12th (Dir. Dominik Moll)
Sisu (Dir. Jalmari Helander)
Cocaine Bear (Dir. Elizabeth Banks)
Godzilla: Minus One (Dir. Takashi Yamazaki)
Godland (Dir. Hlynur Pálmason)
Words by Aldy Kusumah