Denis Villeneuve sepertinya tidak pernah membuat film gagal, dan dia terlihat sangat versatile dalam melakukannya. Pertama kali saya jatuh cinta pada karya Denis adalah pada saat melihat Sicario di bioskop, sebuah crime-thriller yang mengandung unsur-unsur film noir dan western di dalamnya. Saya selalu melihat Josh Brolin dan Benicio Del Toro seperti para gunslingers di film-film koboy Sam Peckinpah, hanya saja menggunakan senjata yang lebih modern. Mungkin Denis Villeneuve adalah salah satu sutradara yang kecil kemungkinannya untuk menyutradarai film-film besar Hollywood. Pertimbangkan ini: Villeneuve merilis film pertamanya pada tahun 1998 (August 32nd on Earth) dan film keduanya Maelström pada tahun 2000, kemudian Denis mengambil jeda selama bertahun-tahun untuk menekan tombol reset dan, baru-baru ini dia mengatakan kepada The Hollywood Reporter, bahwa dia telah mempelajari pendekatan yang berbeda terhadap sinema. Pendekatan baru Denis ini melibatkan dia untuk mengamati sutradara teater yang sedang bekerja dan mempelajari cara-cara berkomunikasi yang lebih baik dengan para aktor. Lalu pada tahun 2009 tiba-tiba Denis muncul dengan Polytechnique, yang kemudian dilanjutkan dengan masterpiece Incendies (2010), Prisoners & Enemy di tahun 2013, lalu Sicario (2015), Arrival (2016) dan Blade Runner 2049 (2017) secara berturut-turut. Apakah orang ini bisa membuat film jelek? Sepertinya tidak.
Fast-forward ke 2024: Villeneuve berhasil menyelesaikan adaptasi dua bagian dari film sci-fi terkenal karya Frank Herbert, Dune, sebuah proyek yang dulunya secara luas dianggap tidak dapat diadaptasi setelah upaya David Lynch gagal dan flop secara komersil pada tahun 1984. Bahkan sutradara nyentrik Alejandro Jodorowsky pun gagal mengadaptasi Dune. Namun Dune mungkin juga dibuat khusus untuk Villeneuve, yang berhasil merancang storyboard untuk adaptasi imajinasi dengan sahabatnya saat remaja. Setiap adaptasi buku Herbert harus menangkap kekerasan, ambiguitas moral, dan konflik manusia di masa depan tanpa kehilangan sisi anehnya. Ini semua adalah sebuah sweet spot bagi Villeneuve, bahkan di luar genre sci-fi sekalipun. Denis berhasil membawa karya-karyanya ke panggung yang lebih besar, tanpa kehilangan karakternya. Berikut ini adalah film-film Denis Villeneuve favorit JEURNALS dari yang “terburuk” sampai ke terbaik.
Maelström (2000) & August 32nd on Earth (1998)
Dua film pertama Villeneuve adalah satu kesatuan, sehingga sulit untuk untuk membahasnya secara terpisah. Kecelakaan mobil memainkan peran sentral dalam keduanya, begitu pula hubungan ambigu antara dua orang yang mungkin terletak di sepanjang garis tipis antara hidup dan mati. Maelström mengimplementasikan elemen-elemen fantasi dan komedi, narator film ini pun adalah ikan yang dapat berbicara. Ketertarikan Denis pada tema-tema gelap dan ambiguitas moral mendorong kedua film tersebut untuk mendapat pujian dari berbagai kritikus, dan Maelström bernasib cukup baik di Genie Awards Kanada, meraih enam piala, termasuk penghargaan Film Terbaik, Sutradara, Skenario, dan Aktris. Sayangnya, ikan-ikan yang menjadi narator itu tidak mendapat apa-apa. Jika melihat film-film Denis setalah ini, tentu saja 2 film awal ini sangat jauh kualitas nya dengan karya-karya berikutnya yang dia buat.
Polytechnique (2009)
Villeneuve kembali ke film layar lebar setelah hampir satu dekade berlalu, karena mungkin terpanggil untuk memfilmkan dengan dramatisasi pembantaian di École Polytechnique; sebuah insiden yang terjadi di tahun 1989 dimana seorang pria misoginis bersenjata menembak dan membunuh 14 wanita dan melukai 14 rekan mahasiswanya di sebuah universitas di Montreal. Di shoot dengan format hitam-putih, Polytechnique sebagian besar mengikuti dua siswa yang hadir di pembantaian tersebut. Film ini berdurasi singkat (hanya 77 menit, dengan kredit), shocking, dan tak terlupakan. Film ini tidak tanggung-tanggung dalam menggambarkan peristiwa mengerikan tersebut namun tidak pernah terasa eksploitatif. Film ini sedikit mengingatkan saya pada Elephant karya Gus Van Sant, dan kedua film ini menurut saya cukup ditonton sekali saja.
Enemy (2013)
Adaptasi dari novel The Double karya José Saramago yang ditulis oleh Javier Gullón, film surealis ini dibuka dengan sebuah scene surreal yang berlatar di sebuah klub rahasia di mana wanita menusuk tarantula dengan sepatu hak tinggi dan film ini menjadi semakin aneh setlah adegan itu. Jake Gyllenhaal berperan sebagai Adam, seorang profesor sejarah Toronto yang murung, hidupnya menjadi tidak tenang ketika dia melihat duplikatnya, Anthony Claire, berperan sebagai pelayan dalam komedi Kanada. Setelah Adam menghubunginya, kehidupannya dan kehidupan Anthony (dan kehidupan pasangan mereka, yang diperankan oleh Mélanie Laurent dan Sarah Gadon) mulai tumpang tindih dalam cara yang tidak nyaman sehingga menjadi perebutan kekuasaan. Difilmkan sebelum Prisoners tetapi dirilis setelahnya, disini Villeneuve sudah bermain-main dengan konvensi pembuatan film bergenre saat ia meng-injeksi momen-momen yang tampaknya biasa-biasa saja dengan rasa takut. Enemy adalah sebuah mindfuck dan studi karakter yang cukup berat, penonton perlu sedikit energi ekstra untuk mengkonsumsi yang satu ini.
Arrival (2016)
Diadaptasi oleh penulis skenario Eric Heisserer dari cerita pendek karya Ted Chiang, film ini dibintangi oleh Amy Adams sebagai Louise, seorang ahli bahasa yang terpanggil untuk bertindak ketika 12 pesawat ruang angkasa (UFO) misterius muncul secara tak terduga di seluruh dunia. Diambil dengan indah oleh DOP Bradford Young, film ini menggunakan warna abu-abu pucat dan warna hijau yang subtle untuk menciptakan suasana tidak nyaman yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Alien di film ini datang dalam bentuk makhluk humanoid yang berkaki banyak. Mereka memiliki kecerdasan namun dengan motif misterius yang tidak dapat dimengerti melalui cara komunikasi manusia. Kebutuhan untuk berkomunikasi dengan alien-alien ini berubah menjadi perlombaan melawan waktu ketika kapal-kapal dan pilot misterius mereka memicu krisis global yang mengancam. Terlepas dari semua unsur politik global, dan impending doom yang disebabkan oleh kedatangan alien-alien tersebut, Arrival tetap menjadi kisah tentang Louise, sebuah cerita mengenai nasib dan bagaimana kehidupan tidak dapat dipisahkan dari kematian. Tema sentral film ini mungkin dekat dengan Interstellar karya Christopher Nolan. In other words, jika kamu menyukai Interstellar, kemungkinan besar kamu akan menyukai yang satu ini.
Incendies (2010)
Selain mempertimbangkan kembali pendekatannya terhadap film, Villeneuve menghabiskan tahun-tahun setelah film pertamanya mengerjakan skenario untuk Polytechnique dan Incendies, yang dia buat satu demi satu. Sebuah adaptasi (ditulis bersama Valérie Beaugrand-Champagne) dari karya drama 2003 milik screenwriter Kanada asal Lebanon, Wajdi Mouawad. Drama tersebut beralih antara masa lalu dan masa kini karena menggambarkan sebuah tragedi yang cakupan penuhnya tidak akan terlihat sampai semua puzzle-nya telah tersusun. Ini adalah mahakarya sinematik yang bisa “triggering” untuk beberapa penonton, dengan cerita yang kuat dan kedalaman emosional. Sutradara Denis Villeneuve menciptakan narasi memukau yang mengungkap rahasia, ikatan keluarga, dan masa lalu yang menghantui dengan lokasi Timur Tengah yang menarik. Momen paling “berdarah” di Incendies datang dengan tiba-tiba dan mengejutkan, tetapi juga terasa seperti akibat yang tak terhindarkan dari kekuatan politik yang lebih besar dan siklus kekerasan multigenerasi, tema yang dia ulang kembali di Dune dan Sicario. Lagi-lagi, menurut saya plot-twist gelap di film ini hanya cukup ditonton sekali saja.
Prisoners (2013)
Villeneuve membuat lompatan dari Kanada ke Hollywood dengan sebuah film-noir tanpa kompromi yang dibintangi Hugh Jackman, Viola Davis, Terrence Howard, dan Maria Bello, masing-masing berperan sebagai Keller, Nancy, Franklin, dan Grace, orang tua dari dua gadis yang menghilang di kota kecil mereka di Pennsylvania pada hari saat Thanksgiving. Ketika karakter Jackman yakin dia telah menemukan pelakunya, seorang warga lokal bernama Alex (Paul Dano), dia mengambil tindakan sendiri bagai seorang vigilante, menyandera Alex dan menyiksanya untuk mengetahui detail dan rincian kejahatannya. Beberapa momen di film ini terasa seperti sebuah torture porn yang satisfying untuk beberapa penonton. Jake Gyllenhaal berperan sebagai Loki, detektif yang menangani kasus ini. Akting Gyllenhaal pun cukup intens di film ini. Ini juga film pertama dari tiga film Denis dimana dia berkerjasama dengan sinematografer legendaris Roger Deakins. Namun terlepas dari balas dendam, film ini tetap berakar pada kemanusiaan dimana Denis mengeksplorasi bagaimana sebuah kejahatan menghasilkan kejahatan baru.
Blade Runner 2049 (2017)
Respon Villeneuve terhadap film sci-fi masterpiece Blade Runner yang dibuat Ridley Scott di tahun 1982 adalah respon yang tepat. Denis membuang kerangka cerita film-noir dari karya originalnya untuk menjelajahi alam semesta yang lebih luas yang disarankan. Film ini mengikuti K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner yang juga seorang replicant (android). K tergiring pada sebuah perjalanan yang akan membuatnya mempertanyakan hubungan antara manusia dan ciptaan androidnya. Pertanyaan lama yang sudah ditanyakan oleh Ridley Scott kembali ditanyakan lagi disini: Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Harrison Ford kembali sebagai Blade Runner dari film OGnya, Rick Deckard. Film ini tidak kekurangan adegan action tetapi tetap memberikan banyak ruang untuk perenungan filosofis didalam dialog-dialog dan tema sentralnya. Kolaborasi Denis-Deakins lainnya, Blade Runner 2049 juga menawarkan visual yang menakjubkan: Tidak ada yang lebih berkesan dari reruntuhan Las Vegas. Mungkin ini bukan film untuk setiap orang, tetapi untuk para penggemar Blade Runner, film in adalah sebuah karya yang esensial. Dan sudah sepatutnya para penonton berterima kasih pada Denis untuk menghadirkan Ana de Armas sebagai AI sebesar billboard neon yang epik.
Sicario (2015)
Di shoot dengan indah oleh Roger Deakins, ditambah dengan set piece keren seperti scene pertempuran di terowongan gelap atau tembak-menembak yang intens di perbatasan, dibalut oleh scoring indah dari Jóhann Jóhannsson, Sicario memiliki semua elemen untuk menjadi film 10 out of 10. Performa Benicio Del Toro dan Josh Brolin pun menjadi aksen yang kuat untuk membuat Sicario jadi salah satu crime-saga paling keren yang pernah difilmkan. Denis juga ingin memperlihatkan kalau pemerintah, kartel narkotika dan polisi adalah para aktor abu-abu. There is no good guys here. Namun, sekali lagi, kerugian yang diakibatkan oleh konflik-konflik war on drugs inilah yang menjadi perhatian utamanya. Siapa saja para pelaku kejahatan multi-generasi ini? Siapa saja korban-nya? Pasangkan film ini dengan Incendies, dan kamu akan menemukan beberapa elemen yang berima dan senada.
Dune (2021)
Novel Dune memang sulit untuk di adaptasi. David Lynch dan Alejandro Jodorowsky gagal, dan karena kegagalan itulah yang George Lucas berhasil menjadikan Star Wars sebagai IP sci-fi paling sukses di dunia (padahal konon Lucas pun “meminjam” beberapa ide dari novel Dune karya Frank Herbert). Tapi di tahun 2021 dan 2024 adapatasi Dune yang berhasil akhirnya muncul ke permukaan. Setelah kesuksesan Dune ini, perlu diingat betapa mudahnya hal itu gagal. Novel Herbert kaya akan lore dan kental dengan tokoh-tokoh bernama unik seperti Glossu Rabban, Thufir Hawat, dan Duncan Idaho. Oke, yang terakhir mungkin tidak terlalu sulit. Ceritanya mencakup seluruh galaksi dan menampilkan banyak subplot, liku-liku, dan konspirasi. Tidak tanggung-tanggung seperti Terminator yang menggambarkan dunia pada tahun 2029 atau Blade Runner yang bersetting tahun 2019, Dune bersetting tahun 10,191. Dan sebagian besar cerita terjadi di gurun. Banyak sekali rintangan yang harus diselesaikan untuk membuat film ini, tetapi Villeneuve hampir membuatnya terlihat mudah melalui desain film yang imajinatif, CGI yang keren, dan plot yang jelas. Dune menampilkan dunia-dunia menakjubkan secara visual. Kepiawaian Denis memilih lokasi untuk beberapa set-pieces action yang intens pun kembali terlihat, seperti yang sebelumya dia lakukan di Sicario, khususnya serangan malam hari di Istana Arrakeen yang memenuhi langit dengan api. Namun, yang terpenting, ini adalah investasi film pada karakter-karakternya — khususnya calon mesias Paul Atreides (Timothée Chalamet), ibunya Lady Jessica (Rebecca Ferguson), dan (lebih lagi di Bagian Dua daripada film ini), mentornya di Fremen– kekasih Chani (Zendaya) — yang membuat Dune tetap membumi. Look out Star Wars, Dune akan segera menggeser posisi sebagai IP sci-fi terbaik untuk dekade ini.
Dune: Part Two (2024)
Tanpa rencana untuk membuat sekuel jika film pertama adaptasi Villeneuve tidak laku, Dune: Part Two tetap hadir dengan maksimal. Villeneuve konon sudah menyelesaikan Dune: Part Two ini jauh-jauh hari, walupun tidak ada kepastian untuk shooting. Ada juga beberapa rumor kalau adaptasi dari Dune Messiah dan beberapa alur cerita yang jelas-jelas mengisyaratkan mungkin ada lebih banyak lagi yang akan datang sudah mulai dikerjakan. Jika berbicara visual dan adegan epik, lihat saja rangkaian visual monokrom panjang di bawah matahari hitam planet Harkonnen dan scene Shai-Hulud yang menakjubkan. Membentang melintasi cakrawala di layar IMAX, memanjakan mata para penonton. Jika membicarakan sound design, arsitektur brutalist dan scoring film ini, mungkin artikel ini akan jadi terlalu panjang, so let’s skip that for another time. Beberapa kekuatan terbesar Dune: Part 2 ini bahkan tidak ada hubungannya dengan dunia Dune dan efek CGI. Semua aktor di film ini juga memainkan peran-nya masing-masing dengan sempurna (kecual Christopher Walken yang menurut saya sedikit miscast dengan aksen gangster Brooklyn-nya). Dune 1 dan Dune: Part 2 tidak bisa dipisahkan. Saya menganggap kedua film ini sebagai satu kesatuan, dimana Dune 1 mengenalkan backdrop dan backstory para karakternya, sedangkan Dune 2 bergerak dengan pacing yang lebih dinamis. Saran saya: Tontonlah kedua film ini back-to-back. Dan kamu akan mendapatkan experience yang tidak terlupakan.
Words by Aldy Kusumah