Shoegaze adalah subgenre alternatif-rock yang muncul pada akhir 1980an dan awal 1990an, ditandai dengan penggunaan reverb yang berat, efek delay, dan layer-layer suara distorsi/fuzz untuk menciptakan sound yang indah dan imersif. Istilah “shoegaze” diyakini berasal dari kecenderungan pemain untuk menatap sepatu mereka saat bermain, sebagian karena fokus pada pedal efek yang cukup complicated. Dengan adanya band-band nu-gaze, grunge gaze dan new wave of American shoegaze, revival genre shoegaze ini sendiri diramaikan oleh band-band seperti Nothing, Westkust, Ovlov, Gleemer, Teenage Wrist & Narrow Head. Bahkan band-band hardcore seperti Turnstile dan Title Fight pun mulai terpengaruh sound shoegaze ini. Anyway, berikut adalah 20 rilisan shoegaze (klasik & modern) yang menurut kami sangat esensial. Here goes..
20. Nothing – Tired of Tomorrow (2016)
Band Philadelphia ini terdiri dari veteran hardcore punk dengan vokalis mantan narapidana yang (sedikit) bermasalah. Di album kedua grup tersebut, “Tired of Tomorrowâ€, wordplay atau lirik vokalis Domenic Palermo sangat visual dan gamblang; pada “A.C.D. (Abcessive Compulsive Disorder),†permohonannya terhadap cintanya yang hilang digambarkan pada penggalan lirik: ““Swallow corrosive confection / Decay, rotting in your womb / I can wallow in your filth.†Dibalik gelapnya lirik-lirik Palermo, “Tired of Tomorrow†tetap terdengar indah, dilengkapi crescendo gitar yang anthemic dan suara serak Palermo yang tentunya mengacu pada Kurt Cobain. Album ini catchy dan bermain dengan dinamika pelan/keras yang pas. Album dari Nothing ini cukup menjadi gerbang pembuka untuk para pendengar generasi modern yang ingin memulai menggali lebih dalam mengenai shoegaze.
19. Pale Saints – In Ribbons (1992)
Pale Saints telah merilis debut mereka, “The Comforts of Madnessâ€, ketika mantan eks-vokalis Lush, Meriel Barham, bergabung dengan lineup band ini di akhir tahun 1990. Pada saat mereka merekam LP terakhir mereka, Slow Buildings di tahun 1994, vokalis dan bassis pendiri Ian Masters telah pergi. Uniknya, masa-masa pergantian personil ini merupakan masa keemasan bagi band ini, yang berpuncak dengan “In Ribbonsâ€, sebuah album shoegaze yang bagus dengan sensibilitas pop yang tinggi. Alih-alih melupakan shoegaze, musik mereka mungkin mendapatkan deskripsi genre yang berbeda jika mereka tidak terbentuk di Leeds pada akhir tahun 80-an. Kata “pain†muncul berulang-ulang di In Ribbons, dan dampaknya dapat meresahkan: Ada intensitas pada permainan drum Chris Cooper yang keras dan cepat pada “Ordeal†yang lebih mendekati musik industrial, sementara “Hair Shoes†dipenuhi oleh kecemasan. “Shell†adalah sebuah lagu slowcore, suara senarnya terdengar muram, instrumen glockenspiel, dan vokal kental ala Nico dari Masters memancarkan aroma depresi. Namun dengan semangat Meriel Barham yang menyeimbangkan suara Masters yang membosankan dan sedikit androgini, serta peran penting produser Hugh Jones yang membatasi suara feedback, “In Ribbons†adalah revisi dari “The Comforts of Madness†yang terdengar lebih terkonsep.
18. Chapterhouse – Whirlpool (1990)
Meskipun berasal dari Reading, Inggris, Chapterhouse menjadi lebih dikenal di skena independen London awal tahun 1990-an yang telah menghasilkan band-band seperti Lush dan Moose. Yang membedakan Chapterhouse, khususnya dengan perilisan debut full-length mereka “Whirlpoolâ€, adalah kemampuan mereka untuk melakukan referensi silang dari genre-genre yang dekat dengan shoegaze, dan menggabungkannya secara kohesif menjadi sembilan lagu yang sempurna. Whirlpool dengan anggun membawa obor yang dinyalakan oleh nenek moyang soniknya hanya beberapa tahun sebelumnya, mengawinkan aspek indie-pop yang jangly dari My Bloody Valentine era awal (Geek! & This is Your Bloody Valentine) dan The Jesus and Mary Chain yang erat dengan ledakan distorsi gitar yang memekakkan telinga dan harmoni vokal berlayer yang mewakili shoegaze secara keseluruhan. Menggali lebih dalam ke masa lalu, Chapterhouse juga membantu memperkuat kehadiran elemen psikedelia tahun ‘60an di shoegaze, mengacu pada gitar wah-wah dan The Beatles era “Tomorrow Never Knows.†“Whirlpool†tetap menjadi album esensial dalam genre shoegaze, dan genre ini pun disempurnakan oleh Chapterhouse.
17. Drop Nineteen – Delaware (1992)
Dalam banyak hal, shoegaze dapat dianggap sebagai genre khas Inggris. Namanya tidak hanya diciptakan oleh media Inggris, namun sebagian besar band shoegaze memiliki kesamaan geografi yang mempengaruhi musik mereka. Namun, pada awal tahun 1990-an, segelintir band kontemporer AS memadukan musik rock kampus Amerika dengan karakteristik utama shoegaze, mengambil referensi dari band-band seperti Galaxie 500, Lilys, Swirlies dan Dinosaur Jr. dan mengawinkan sound gitar mereka yang tidak jelas dengan lirik introspektif. Drop Nineteens pun mengeksplor produksi atmosferik ala Kevin Shields dan kawan-kawan yang kuat secara sonik. “Delawareâ€, album debut Drop Nineteens dari Boston, memiliki aura romansa yang puitis yang sejalan dengan band-band alt-rock pada zamannya. Vokalis/gitaris Greg Ackell dan Paula Kelley menyanyikan lirik mengenai masa muda yang menyedihkan dan cinta pertama dengan vokal yang cukup khas. “Reberrymemberer†memunculkan kesan grungy yang mengingatkan pada momen-momen eksperimental Pixies. Beroperasi di bawah sorotan media mainstream dan terisolasi dari payung shoegaze secara bersamaan, “Delaware†menempatkan Drop Nineteens di liga mereka sendiri. Jika harus memilih album-album ’90an yang bernuansa shoegaze dari Amerika, saya akan menaruh “Delaware†diatas “In the Presence of Nothing†milik Lilys atau “Blonder Tongue Audio Baton†milik Swirlies.
16. Teenage Wrist – Chrome Neon Jesus (2018)
Teenage Wrist terdiri dari para alt rocker yang berbasis di LA dan ini adalah album debut mereka di Epitaph Records. “Chrome Neon Jesus†adalah sebuah album yang menyerupai ibadah alternatif nostalgia tahun ‘90an yang dikemas dalam elemen shoegaze dan grunge seperti band-band Catherine Wheel, Nirvana dan Slowdive. Meskipun rekaman ini mengingatkan pada sound yang populer di tahun ‘90an, namun tetap terasa menyegarkan dan orisinal mengingat rilisnya baru-baru ini. “Chrome Neon Jesus†dimulai dengan lagu dengan judul yang sama yang dengan sempurna menggambarkan apa yang dimaksud dengan Teenage Wrist. Lagunya upbeat dan catchy dengan sedikit sentuhan shoegaze — gitarnya dipenuhi efek pedal chorus dan vokalnya hampir tenggelam di latar belakang instrumen. Memang menenangkan, tapi juga keras, dan bagian reff-nya sangat catchy, seperti kebanyakan lagu di album ini.
Formula yang sama ditemukan di sebagian besar lagu dalam rekaman, seperti single utama “Dweebâ€, “Swallowâ€, dan “Black Flamingoâ€. Namun pada “Supermachine†terasa sedikit lebih maskulin. “Spit†adalah lagu shoegaze yang lebih lambat dan tradisional, sama seperti lagu “Kibo†yang sebagian besar bersifat instrumental dan repetetif. Coba juga dengarkan EP mereka “Dazed†yang patut diberi gerakan tubuh “chef’s kissâ€.
15. Title Fight – Hyperview (2015)
“Hyperview†adalah pernyataan tegas bahwa Title Fight tetap mengeksplorasi dan berani memberi penggemar mereka sesuatu yang berbeda. Album ini merupakan perubahan drastis dari apa pun yang pernah dilakukan oleh mereka berempat sebelumnya, baik dalam sound-nya yang indah maupun range-nya yang ambisius. 30 detik pertama dari lagu pembuka “Murder Your Memory†menyiratkan agresi langsung namun sebenarnya tentang berdamai dengan masa lalu dan bergerak maju. Hyperview paling menarik pada momen-momen yang tidak terlalu condong ke satu arah atau yang lain. Ambivalensi Title Fight di sini tidak boleh disalahartikan sebagai kepasifan; bahkan pada saat-saat paling “membosankan†sekalipun, Hyperview selalu terdengar berpotensi meledak. Title Fight mungkin jadi lebih pelan dan terlihat tidak memperdulikan reputasi hardcore mereka yang kuat, namun album ini membuktikan kalau Ned Russin dan kawan-kawannya bisa melakukan apa yang mereka mau dan tetap menghasilkan output yang bagus.
14. My Vitriol – Finelines (2001)
My Vitriol telah dibandingkan dengan banyak band lain, seperti Nirvana dan The Foo Fighters. Tapi, menurut saya mereka memiliki suara dan gaya orisinalnya sendiri. Salah satu alasannya adalah mereka orang Inggris, bukan orang Amerika (walaupun Som lahir di Sri Lanka). Saya selalu cenderung lebih menyukai band-band Amerika karena mereka tampaknya memiliki suara yang lebih berat dibandingkan dengan suara indie khas Brit-pop. Di situlah band ini mendobrak batasan stereotip yang diikuti banyak band Inggris. Saya rasa kamu akan dapat mengenali lagu My Vitriol, tidak hanya dari gaya musiknya, tetapi dari suara dan karisma suara Som Wardner. Dari mendengarkan “Finelines†(untuk ke-sekian kalinya), Saya dapat melihat bahwa ini hanyalah permulaan dari sebuah band yang kamu tahu akan bertahan lama. Tidak ada lagu yang gagal di album ini. Dari track pembuka “Alpha Wavesâ€, disambut oleh hit single “Always: Your Way”, kemudian “The Gentle Art of Choking†sampai “Groundedâ€, tidak terasa kalian sudah mendengarkan setengah album ini tanpa cela. Saya anjurkan untuk mendengar album ini secara keseluruhan tanpa jeda. Dan coba juga degnarkan “Between The Lines†dimana mereka mengkover “Game of Pricksâ€-nya Guided by Voices. Jika kamu hanya membeli satu album nu gaze tahun ini, jadikanlah “Finelines†pilihanmu.
13. Parranoul – To See the Next Part of the Dream (2021)
Shoegaze didefinisikan oleh karakteristiknya yang halus, dan “To See the Next Part of the Dream†berfokus pada elemen itu. Parranoul adalah proyek shoegaze dari seorang musisi solois asal Korea Selatan yang anonymous. Dia memproduksi, merekam dan merilis album ini sendirian dan menurut kabar umurnya masih terbilang muda (22 tahun). Dia tidak ingin dikenal secara pribadi, menolak interview dengan berbagai media, dan tidak ada informasi sedikit pun mengenai identitas dan foto musisi ini. Pada tahun 2021, Parranoul merilis album yang cukup menjadi perbincangan di seluruh dunia. Bayangkan saja: sebuah album shoegaze bagus dari Korea Selatan. Ada sedikit sentuhan noise pop, emo dan post hardcore disini, tetapi Parranoul tetap menegaskan pendengar bahwa ini adalah album shoegaze mentok. Dengan gitar fuzz yang droning ala Kevin Shields dan produksi drum midi ala M83 awal, album ini langsung membuat saya jatuh cinta pada Parranoul. Parranoul sebenarnya merilis album lagi di 2023 yang lebih polished dan terkonsep, tetapi entah kenapa saya tetap kembali lagi mendengarkan “To See the Next Part of the Dream†di playlist saya.
12. Lush – Gala (1990)
“Gala” sebenarnya adalah sebuah kompilasi yang berisi beberapa extended play (EP) milik Lush, dan menampilkan empat lagu penting: “Sweetness and Light”, “Sunbathing”, “Breeze”, dan “De-Luxe”. EP ini menampilkan sound Lush yang indah dan halus, dengan tekstur gitar yang khas dan vokal unik Miki Berenyi. Jika kamu tertarik dengan scene shoegaze awal dan digging band-band shoegaze vokalis perempuan seperti Lush, “Gala” adalah album penting yang menangkap kualitas atmosfer dan sejauh mana dari genre tersebut bisa dibawa. Setelah “Gala”, Lush kemudian merilis beberapa album, termasuk “Spooky” dan “Lovelife”, dan mereka semakin berpengaruh di dunia musik alternatif sebelum hilang ditelan dunia.
11. Medicine – Shot Forth Self Living (1992)
“Shot Forth Self Living” adalah album studio debut band alt-rock asal Amerika bernama Medicine. Album ini dirilis pada tahun 1992. Medicine terkenal dengan perpaduan unsur-unsur noisy dari shoegaze dengan rock alternatif yang juga menampilkan elemen psikedelik. “Shot Forth Self Living” menampilkan wall-of-sound yang diciptakan oleh lapisan gitar dan efek, bersama dengan vokal halus Beth Thompson. Beberapa lagu terkenal dari album ini termasuk “Aruca”, “Defective”, dan “One More”. Album ini diterima dengan baik karena pendekatannya yang eksperimental dan menentang genre ini untuk berevolusi lebih jauh, dan album ini berkontribusi pada reputasi band dalam dunia musik alternatif dan shoegaze. Jika kamu penggemar musik rock yang berisik, bertekstur, dan sedikit eksperimental dari awal tahun ‘90-an, menjelajahi “Shot Forth Self Living” dari Medicine bisa menjadi pengalaman yang unik.
10. Blonde Redhead – 23 (2007)
Pada tahun 2007, trio Blonde Redhead dari New York telah dikenal selama lebih dari satu dekade sebagai art-rocker, dan menjadi favorit di skena indie New York ; DI album â€23†mereka sedikit merubah sound dan cara mereka merepresentasikan lagu-lagu mereka. Album ketujuh grup ini (dan pertama yang diproduksi sendiri), merupakan album yang terasa spontan dan penuh semangat. Simone dan Amedeo Pace menawarkan eksplorasi yang dalam pada gitar, permainan piano yang gloomy, dan sound perkusi hi-hat nyaring. Penyanyi Kazu Makino menyalurkan keajaiban yang depresif dari shoegaze klasik di dalam lagu-lagunya, dia mendesah dan berbisik dengan keanggunan, sementara vokal Amedeo Pace yang terdistorsi di “Publisher †semakin mendekati suara blues, gitar math-rock, dan sentuhan elektronik minimalis yang halus. Sampai saat ini, sepertinya tidak ada yang berani mengeksplorasi dan berhasil memainkan formula seperti Blonde Redhead ini.
9. Catherine Wheel – Chrome (1993)
“Chrome” adalah album studio ketiga oleh band rock alternatif Inggris Catherine Wheel, dirilis pada tahun 1993. Catherine Wheel adalah bagian dari dunia musik alternatif dan shoegaze pada awal hingga pertengahan 1990-an. “Chrome” menampilkan perpaduan elemen rock alternatif dan shoegaze, dengan lapisan tekstur gitar dan atmosfer yang indah. Beberapa lagu terkenal dari album ini termasuk “Crank”, “The Nudeâ€, “Show Me Mary”, dan “Judy Staring at the Sun”. Album ini secara umum diterima dengan baik oleh para kritikus dan menjadi favorit di kalangan penggemar genre shoegaze dan rock alternatif. Jika kamu menyukai musik dari era dan genre ini, “Chrome” dari Catherine Wheel bisa menjadi pengalaman yang sangat berharga. Fun fact, Robert Dickinson vokalis Catherine Wheel adalah sepupu dari Bruce Dickinson Iron Maiden.
8. Alcest – Souvenirs D’un Autre Monde (2007)
Alcest berhasil meleburkan batas antara black metal dan shoegaze: Ketika kedua genre itu mulai berkembang pada awal tahun 1990-an, kesamaannya tidak terlihat jelas. Namun pada awal tahun 2000-an, konvergensi keduanya tampaknya tidak bisa dihindari. Musisi Perancis Neige meninggalkan skena black metal pada tahun 2005 dengan EP debut dari band post-punk melankolisnya Amesoeurs, tetapi butuh album penuh pertama dari proyek berikutnya—â€Souvenirs D’un Autre Monde†oleh Alcest—untuk menyempurnakan karyanya yang melampiaskan minat ganda Neige terhadap black metal dan shoegaze. Judul album 2007 ini jika diterjemahkan adalah “kenangan dari dunia lainâ€â€”oleh karena itu, Neige mengilhami enam lagunya dengan kombinasi gitar akustik dan distorsi yang melebur tanpa effort. Penulisan lagunya bahkan kadang lebih indah dari band-band shoegaze bahkan dream pop, bahkan ketika intensitas musik di lagu Alcest meningkat, secara struktural album ini tetap mengingatkan kita akan leluhur metal Alcest. Pada saat yang sama, ia menciptakan kembali shoegaze untuk abad baru, membuktikan betapa sumber daya sonik dapat diperbarui dengan teknologi modern. Dan seperti yang teman saya ucapkan ketika saya menyetel album ini: “Ini Alcest? Kok kaya Pale Saints?â€
7. Slowdive – Souvlaki (1993)
Bisa dibilang, album ini menggambarkan apa yang dimaksud dengan shoegaze: gitar yang terdistorsi, perkusi yang khas, dan tekstur yang tidak jelas dengan perpaduan harmoni vokal pria dan wanita. Lirik berada di belakang rangkaian kebisingan yang holistik. Vokal digunakan hanya sebagai instrumen lain, dan kamu mungkin dimaafkan jika mendapat kesan bahwa rekaman tersebut murni instrumental pada saat pertama kali mendengarkannya. Hal ini dapat dicontohkan dengan baik dibandingkan dengan salah satu karya utama album ini, “Souvlaki Space Stationâ€, yang lebih mengandalkan instrumentasi dibandingkan alur vokal Goswell yang berputar-putar di latar. “Machine Gunâ€, “When the Sun Hits†dan “Dagger†adalah anthem-anthem shoegaze klasik yang tidak akan hilang dimakan zaman. Jika di ensiklopedia ada segmen shoegaze, menurut saya kover album ini patut ditaruh disebelah kata “shoegaze†tersebut.
6. Adorable – Against Perfection (1993)
Naik turunnya Adorable mencerminkan shoegaze itu sendiri. Band ini memainkan pertunjukan pertama mereka pada bulan Januari 1991, tepat di awal fase shoegaze, dan merilis album debut mereka “Against Perfection†pada bulan Maret 1993, ketika Suede menjadi favorit di berbagai media. Adorable merilis serangkaian single yang cukup kuat untuk mengokohkan tempat mereka dalam skena shoegaze, termasuk lagu-lagu epik seperti “I’ll Be Your Saint†dan “Sistine Chapel Ceiling†yang catchy. “Sunshine Smile,†khususnya, memberikan contoh semua hal yang luar biasa tentang Adorable: riff gitar yang sangat indah dan kemudian meledak menjadi distorsi yang intens, suara lesu dari vokalis Pete Fijalkowski, yang sediki “meminjam†style menyanyi ala Ian McCulloch (Echo & The Bunnymen), dan tentunya departemen rhythm yang sangat pas. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar, menurut saya sekarang kalian setel saja video klip “Homeboy†di Youtube and thank me later.
5. Curve – Doppelgänger (1992)
Inovasi hebat Curve adalah mengawinkan ritme elektronik yang rapat dengan serangan noise-pop yang kental. Sebelum debut “Doppelgänger†mereka pada tahun 1992, perpaduan itu tidak terdengar, tetapi Curve menjadi pionir sound yang akhirnya tersebar luas ini; doppelgänger mereka sendiri, Garbage, membuat album dengan perpaduan ini hanya beberapa tahun kemudian. Tetapi Curve memiliki ikatan yang lebih kuat dengan shoegaze dibandingkan Garbage, namun, bukan hanya karena timingnya namun juga artikulasinya: Vokalis Toni Halliday dan multi-instrumentalis Dean Garcia menyukai ketidakjelasan dalam suara dan gaya, membiarkan estetika menyatu, dan Curve lebih menyukai sensasi daripada lagu yang pop. Di Doppelgänger, duo ini menunjukkan melodi yang kuat dan itu terlihat pada riff dan ritme seperti halnya di lirik mereka sendiri. Halliday juga tetap unik dalam shoegaze: Dia adalah seorang penyanyi yang mendorong dirinya sendiri ke garis depan, mencuri perhatian kebisingan dan distorsi yang mengelilinginya, membuat Curve menonjol diantara band-band shoegaze lainnya yang lebih terdengar serupa.
4. The Verve – A Storm In Heaven (1993)
Jika kamu hanya mengenal The Verve lewat “Bittersweet Symphonyâ€, maka kamu ketinggalan yang satu ini. Sebelum dikenal lewat album “Urban Hymnsâ€, The Verve pernah membuat sebuah album shoegaze. “A Storm in Heaven” adalah album studio debut band rock Inggris The Verve, yang dirilis pada tahun 1993. Album ini menandai eksplorasi awal pengaruh psikedelik dan shoegaze dari The Verve sebelum mereka kemudian mencapai kesuksesan luas dengan album ketiga mereka, “Urban Hymnsâ€.
“A Storm in Heaven” menampilkan lanskap suara yang indah dan atmosferik, serta aransemen musik yang luas. Album ini berisi lagu-lagu seperti “Slide Away”, “Star Sail”, dan “Already There”. Lagu-lagu ini menunjukkan kemampuan band untuk menciptakan lanskap sonik yang diambil dari berbagai pengaruh, termasuk shoegaze, psikedelia, dan spacerock ala Spacemen 3. Meskipun “A Storm in Heaven” tidak sukses secara komersil pada saat dirilis, lagu-lagu dari album ini mendapat pujian kritis dan dianggap sebagai karya penting dalam genre shoegaze dan rock alternatif. Jika kamu mengapresiasi musik rock atmosferik dan eksperimental, menjelajahi album ini dapat memberikan wawasan tentang evolusi musik awal The Verve.
3. Swervedriver – Mezcal Head (1993)
Mezcal Head” adalah album studio kedua oleh band rock alternatif Inggris Swervedriver. Album ini dirilis pada tahun 1993 dan sangat dihormati dalam genre shoegaze dan rock alternatif. Swervedriver, seperti Ride, sering dikaitkan dengan gerakan shoegaze. Yang membedakan Swervedriver dari band-band shoegaze lain seangkatan nya adalah Swervedriver lebih rocking dan sedikit lebih maskulin secara aransmen. “Mezcal Head” menampilkan lagu-lagu seperti “Duel”, “Last Train to Setansville”, dan “The Birds”. Album ini menampilkan kemampuan band ini untuk memadukan elemen shoegaze dengan suara yang lebih berorientasi rock, sehingga pengalaman saya pada saat mendengarkan album ini pun lebih dinamis dan bertenaga ketimbang mendengarkan MBV atau Ride, misalnya. Jika kamu penggemar musik rock alternatif atau shoegaze, “Mezcal Head” layak untuk di eksplore. Sound unik dan gaya penulisan lagu Swervedriver membuat mereka mendapatkan fanbase yang berdedikasi, dan album ini dianggap yang paling menonjol dalam diskografi mereka.
2. Ride – Nowhere (1990)
“Ride” adalah band rock alternatif Inggris yang dibentuk pada tahun 1988. Salah satu album mereka yang paling terkenal berjudul “Nowhere,” dirilis pada tahun 1990. “Nowhere” dianggap sebagai album shoegaze yang monumental, menampilkan sound yang cukup spesifik dan atmosferik dan ditandai dengan layering gitar, vokal halus, dan produksi yang rapih. Album ini berisi lagu-lagu seperti “Vapour Trail”, “Polar Bear”, dan title track “Nowhere”. Jika harus menyebut satu lagu untuk mendeskripsikan shoegaze pada orang awam, saya tentu akan memilih “Vapour Trail” yang timeless dan memiliki sensibilitas pop yang kuat. “Nowhere” milik Ride sering dianggap sebagai album klasik dalam genre shoegaze dan memiliki pengaruh yang bertahan lama pada skena musik alternatif dan indie. Jika kamu penggemar shoegaze atau rock alternatif, “Nowhere” adalah album yang sangat penting untuk dijelajahi.
1. My Bloody Valentine – Loveless (1991)
“Loveless” adalah album My Bloody Valentine yang dianggap sebagai album inovatif dan sangat berpengaruh dalam genre musik alternatif dan shoegaze. Dirilis pada tahun 1991, album ini adalah album studio kedua oleh band Irlandia ini, dan terkenal karena penggunaan efek gitar yang inovatif, atmosfer yang indah, layer-layer gitar yang kompleks dan teknik produksi yang rumit. Inovasi Sonik yang ditampilkan My Bloody Valentine (dipimpin oleh Kevin Shields) mendorong batas-batas dari apa yang bisa dicapai dengan gitar dan efek. Penggunaan tremolo-arm, distorsi kotor, dan kreasi tekstur sonik berlapis yang unik berkontribusi pada sound khas album ini. Wall-of-sound yang dihasilkan band ini menjadi ciri khas genre shoegaze. “Loveless” adalah sebuah album yang membawa pendengar ke dunia lain dengan sound dan atmosfer ethereal-nya. Lapisan suara gitar, lanskap sonik dan disonansi menciptakan pengalaman dreamlike dan membuat pengalaman mendengarkan album ini menjadi “berbeda†dari album-album lainnya di tahun 1991.
Menariknya, vokal pada “Loveless” sering kali diperlakukan sebagai instrumen lain daripada sebagai sarana lirik tradisional. Vokal Shields dan Bilinda Butcher terkubur dalam mix dan memperkaya tekstur musik secara keseluruhan. Pendekatan vokal mengawang ini menekankan pentingnya suara keseluruhan daripada elemen individual.
Produksi “Loveless” adalah elemen kunci kesuksesannya. Shields dan bandnya bereksperimen secara ekstensif dengan teknik produksi, termasuk penggunaan efek studio secara ekstensif dan metode rekaman yang tidak konvensional. Dan proses rekaman “Loveless†ini pun menghabiskan waktu 2 tahun dan konon hampir membuat bangkrut Creation Records karena memakan biaya sebesar Rp. 4,805,820,000,00. “Loveless” mempunyai dampak besar pada genre shoegaze dan musik alternatif secara keseluruhan. Pengaruhnya dapat didengar dalam karya band-band yang tak terhitung jumlahnya setelahnya. Hasil dari produksi rekaman ini adalah sebuah album yang terdengar futuristik dan abadi. Dan Kevin Shields adalah sang arsitek pionir untuk genre ini.
Words by Aldy Kusumah