“Setelah Anda mengatasi hambatan subtitle setinggi satu inci, Anda akan diperkenalkan dengan lebih banyak film menakjubkan.†— Bong Joon-ho (Parasite, Memories of Murder, The Host)
Ledakan arus K-Pop dan K-Drama di era kontemporer tidak dapat dihindarkan, ketika semua kalangan (bahkan metalheads) menikmati album terbaru dari NewJeans dan Le Sserafim, dan streaming history (hampir) setiap pengguna Netflix dan Disney Plus adalah serial Korea. Tetapi bagi saya pribadi, sebelum K-Pop dan K-Drama saya terpapar oleh sinema Korea lebih dulu. Semenjak menonton film-film seperti Oldboy dan Memories of Murder di tahun 2000an, saya langsung digging film-film Korean new wave ini. Para sineas Korea memang terlihat lebih menyukai genre neo noir, horror dan action. Dan rata-rata ketiga genre tersebut men-glorifikasi kekerasan, bahkan kebanyakan menampilkan gore-level yang cukup tinggi. Sebut saja I Saw The Devil & Oldboy, unsur gore realistis yang ditampilkan di film-film ini tentu akan membuat penggemar film blockbuster Hollywood sedikit kaget. Mayoritas film Hollywood lebih menampilkan reaction shot wajah korban penusukan pada saat ditusuk (off screen kills), sebaliknya film-film Korea malah zoom in pada pisau yang menancap di perut sang korban. And most of the times, the violence works very well, dan kekerasan yang di glorifikasi tersebut menjadi “bumbu†penyedap yang membuat tone dan mood film lebih terbentuk.
Tidak bisa dipungkiri, nama-nama sutradara seperti Park Chan-wook, Bong Joon-ho, Kim Ki-duk dan Na Hong-jin adalah para auteur yang ada di garda terdepan sinema Korea. Jika pada video klip K-Pop dan serial K-Drama kalian banyak melihat coloring warna yang bright dan dipenuhi warna-warna pastel, para sineas ini malah bereksperimen dengan warna gelap, tone yang suram dan tentunya sedikit berbanding terbalik dengan citarasa bright yang menjadi template video Korea kebanyakan. Meskipun sejarah perfilman Korea ditandai oleh sensor dan lanskap politik yang bergejolak, industri film di negara tersebut telah mengalami kebangkitan yang sangat pesat sejak pertengahan tahun 1990an. Para filmmaker muda mulai terlibat dalam komentar politik yang relevan dalam karya-karyanya serta menghidupkan kembali eksperimen dengan genre. Upaya mereka membantu membuka jalan bagi kesuksesan global untuk film-film Korea baru-baru ini, termasuk penghargaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Parasite (2019) karya Bong Joon-ho yang menjadi film non-Inggris pertama yang memenangkan Oscar untuk Film Terbaik.
Komentar sosio politik bahkan merambah dunia film thriller aksi box office, sebuah genre yang menjadi sumber arus uang yang menggiurkan di Korea pada tahun 1990-an. Munculnya film action-thriller banyak disebabkan oleh pengaruh budaya Amerika, namun film seperti Shiri (1999), I Saw The Devil (2010), Crying Fist (2005) dan Tube (2003) membuktikan bahwa Korea dapat memproduksi film aksinya sendiri yang berkualitas tinggi dan menghasilkan keuntungan besar. Setelah Bong Joon-ho merilis Memories of Murder (2003), baik penggemar film Korea maupun internasional sudah menantikan karya berikutnya. Ketika filmnya The Host dirilis pada tahun 2006, film tersebut dengan cepat menjadi film terlaris di box office Korea yang pernah tercatat. Secara internasional, film tersebut diberi label, “film monster terbaik sejak Jaws.†Bong Joon-ho dengan lugas dan effortless bisa berpindah-pindah genre di setiap filmnya. Begitu pula dengan Park Chan Wook dan Na Hong Jin. Park Chan-wook mulai dilirik media dan publik setelah merilis Oldboy pada tahun 2003 yang langsung menjadi film favorit Quentin Tarantino. Konon, hanya Tarantino yang memberikan standing applause di festival film Cannes untuk film yang mempunyai tema (sangat) disturbing tersebut. Park memang dikenal lewat trilogi balas dendam Sympathy For Mr. Vengeance (2002), Oldboy (2003) & Sympathy For Lady Vengeance (2005) yang bergenre revenge-thriller, tetapi Park sebelumnya pernah membuat action-thriller yang menjadi sleeper hit berjudul Joint Security Area (2000). Lalu dia pun membuat rom-com (I’m Cyborg But That’s OK), horror (Thirst), sci-fi (Snowpiercer) sampai neo-noir (Decision To Leave). Jika Kim Ki-duk lebih bermain di area arthouse dan drama (3-Iron, filmnya yang paling terkenal hanya memiliki sedikit dialog), Na Hong-jin memilih untuk bermain di area neo-noir, police procedural dan detective thriller di The Chaser (2008) dan The Yellow Sea (2010). Tetapi dia banting setir ketika mendirect The Wailing (2016), sebuah film horror bertema supernatural, yang kemudian dia lanjutkan di The Medium (2021), sebuah film produksi Korea Selatan dan Thailand, walau kali ini dia bertindak sebagai produser. Jika kalian tertarik untuk digging film-film Korean New Wave ini, kalian bisa memulainya dengan beberapa rekomendasi dari kami:
Oldboy (Park Chan-wook, 2003)
Memories of Murder (Bong Joon-ho, 2003)
I Saw The Devil (Kim Jee-woon, 2010)
The Host (Bong Joon-ho, 2006)
The Chaser (Na Hong-jin, 2008)
The Wailing (Na Hong-jin, 2016)
Words by Aldy Kusumah