Setelah mini album Crowning (2019) dan debut album Bloodbuzz (2021), Denisa kembali menghadirkan album baru, St. Bernadette (2023) yang diambil dari nama baptisnya. Dibantu Haecal Benarivo (Morgensoll, Klab Diskorda) sebagai produser dan Adam Bagaskara (Pelteras) yang ikut co-produce 2 track (Spoiled dan This is a song About Revelation). Di album St. Bernadette ini, Denisa mempersembahkan 10 lagu yang lebih moody, heavy dan tentunya darker than their predecessors. Simak obrolan JEURNALS dengan Denisa mengenai resto vegan favoritnya, berteriak sebelum take vocal dan Avril Lavigne…
“Salah satu album paling life changing di hidup gue adalah Either/Or nya Elliot Smith. Cara dia nulis lirik lumayan jadi referensi gue nulis juga sampai sekarangâ€
Materi-materi Denisa di Crowning (2019) & Bloodbuzz (2021) terdengar lebih populist dan catchy. Apa yang membuat lo berputar haluan dan membawakan musik yang lebih dark dan heavy di St. Bernadette (2023)?
Awalnya karena nemu banyak referensi baru. Mulai dengerin genre-genre heavy sebelum ngerilis Bloodbuzz, dan kebetulan lagi banyak sharing referensi sama Rivo (Morgensoll) tahun lalu. Jadi lah, St. Bernadette. Kayaknya yang bikin gue pengen banget ganti ke darker genre simply gara-gara gue merasa lebih nyaman dan connected nulis lagu begini. Gue merasa lebih explorative juga di bagian lirik.
Apakah latar belakang pendidikan lo di SAE Institute jurusan Audio berpengaruh terhadap output musik dan pendekatan lo dalam menulis sebuah album?
Ngaruh banget, sih. Gue jadi bisa ngelewatin production secara cepat, dan ngejar sound & ngebrief engineer terasa simple.
Sound seperti apa yang lo inginkan di album-album lo?
Heavy guitars yang sedikit atmospheric dengan lead yang minor. Sound drum yang warm tapi masih significant setiap attack. Bass yang ada snap mid high. Vokal yang sound nya nyampein banget emosi lagu-nya. Overall, pengen yang warm, polished, dan pastinya balanced.
Bisa ceritain awal histori lo menulis materi-materi di St. Bernadette? Dari sketch, konsep awal sampai mengajak para kolaborator, produser dan merilis nya?
Seluruh album, gue dan Rivo nulis satu lagu dalam dalam satu hari. Kebetulan juga ada Adam Bagaskara (Pelteras) yang ikut co-produce 2 track (Spoiled dan This is a song About Revelation). Gue milih Rivo jadi produser setelah kita ngerilis Till I’m Forgiven, dari situ gue udah yakin kita bisa bikin album bareng. Kurang lebih, proses album dari songwriting sampai mastering itu 5-6 bulan.
Kabarnya lo sangat menyukai Avril, Dewa 19, Green Day, My Chemical Romance dan Justin Bieber ya?
Hahahaha menurut gue timeless aja. Semua musisi tersebut itu gue dengerin dari SD, dan mungkin sekarang kalo dengerin lagi jadi reminiscing jaman kecil. Yang paling memorable itu nonton music video Avril pertama kali di MTV abis pulang sekolah, sambil makan nugget.
Saya sempat meihat di sebuah konten di Youtube dimana Denisa bercerita mengenai vinyl-vinyl dan album-album favorit. Album-album apa aja sih yang merubah hidup lo sampai membawa lo ke titik sekarang? Seberapa banyak vinyl yang lo beli tiap bulan?
Salah satu album paling life-changing di hidup gue adalah Either/Or nya Elliot Smith. Cara dia nulis lirik lumayan jadi referensi gue nulis juga sampai sekarang. Gue udah lama ngga beli vinyl, tapi dulu gue jatahin 1 vinyl per bulan abis gajian. Kalau yang terakhir, ngga beli sih, dikadoin vinylnya Boygenius – The Record.
Lo sempat berkolaborasi dengan Morgensoll dan Enola. Band-band apa aja yang sudah berkolaborasi dengan lo di rekaman atau live? Apa ada wishlist ingin berkolaborasi dengan band-band tertentu?
Kalau live, pernah jadi collaborator Perunggu di showcase mereka di Jakarta. Gue juga sempet manggung bareng Avhath untuk beberapa panggung. Kalau rekaman, gue bersyukur banget bisa rekaman bareng Bagas (Tarrkam, Morgensoll, ZIP) dan Adam B (Pelteras). Kedepannya, pengen banget collab sama TigaPagi, ngga tau kenapa, kayaknya bakal ngeri aja.
My Bloody Valentine menutup studio dengan gorden pada saat rekaman agar operator tidak bisa melihat aktivitas band di dalam studio. Ross Robinson (produser At The Drive-In) menyuruh Cedric Bixler untuk membayangkan bass drum sebagai denyut jantung setiap ibu yang kehilangan anaknya di Mexico pada saat take vocal. Beberapa vokalis yang saya kenal mematikan lampu studio dan menggunakan “substance” sebelum take vocal. Kondisi dan trigger apa yang Denisa butuhkan pada saat take vokal agar bisa berekspresi secara total?
Harus teriak sekali dua kali, yang kenceng dan lama. Kayak manasih mobil aja. Baru tuh bisa keluar emosi nya. Untuk power & lagu lagu yang lebih teriak, gue biasanya harus ada dingklik atau kursi yang gue bisa naikin 1 kaki gitu. Teknik vokal ngasal tapi it fucking works
Sebagai seorang vegan, apa lo bisa merekomendasikan 5 food spots / resto favorit lo untuk para pembaca? Dan alasan nya lo memilih tempat-tempat tersebut (highlight menu-menu rekomen dari setiap tempat)?
1. Kehidupan tak pernah berakhir (Bandung): Murah & ngga ngebosenin. Banyak banget menu nya, favorit gue sate vegan dan jamur crispy nya.
2. Burgreens: Template banget, tapi ter-aman dan ter-reliable. Gue selalu mesen salad-salad nya kalau di sini.
3. Loving Hut: Enak banget makanan Chinese & Indo-nya. Masih affordable juga. Gue selalu mesen ayam vegan cabe ijo atau nasi goreng dia.
4. Tiasa: Dia macem prasmanan/warteg food gitu. Tiap minggu menu nya diganti, selalu mesen dendeng balado vegan.
5. Bluezone Center: Makanan gue abis gajian. Porsi kuli, ada healthy food dan junk food, balanced banget. Selalu mesen vegan katsu salad.
Last question: 5 album lokal favorit lo dan alasan nya. Go!
1. Zaman, Zaman by The Trees and the Wild. Self explanatory…. indah… outer body experience..
2. Lantai Merah by Monkey to Millionaire. Seru liriknya. Gue suka banget album yang kedengeran nya bahagia tapi pas baca lirik kayak mau meninggal
3. CRIMSON EYES BY SIGMUN!!!! Ampe ada 2 poster gede di kamar gue. Ini album definisi sound mahal & timeless.
4. Dramaturgi Underground by Morfem. Motivating.
5. Upcoming Unreleased album by Pelteras. Gue belum tau exactly kapan sih. Tapi buset. Ancur. Nanti pas rilis dengerin aja, you’ll get what I mean.
Words & interview by Aldy Kusumah