Tenanggg. Tidak akan ada pembahasan soal stereotip dan analisis mendalam soal terminologi emo di dalam tulisan ini. Jadi kalau kamu mencari poin-poin soal dinamika (atau potongan-potongan opini) perihal per-emo-an di sini sebagai bensin pemantik kericuhan seperti cuitan netizen di Twitter beberapa waktu lalu soal istilah midwest, sayangnya kamu salah kamar. Bagaimana kalau saya sarankan kamu untuk membaca artikel Jeurnals yang lainnya di sini? Oke? See you later~
Nah, mari kembali ke topik yang payung bahasannya sudah terpapar lumayan jelas di judul tulisan ini. Emo. Entah kenapa istilah ini masih terkesan anomali sampai sekarang. Meski sudah banyak publikasi dan juga sejumlah paparan diskursus soal sisi etimologi juga runutan historis istilah tersebut, tetap saja yang menjadi deskripsi top-of-mind di dalam benak kebanyakan khalayak ramai global adalah sebuah estetika musik dan fashion yang sempat mengalami peak-nya di pertengahan tahun 2000-an silam.
Kalau kamu lupa akan preferensi dominan dari publik akan emo, silahkan cek foto-foto di bawah ini.
Okay. Mungkin bagimu yang sempat mengalami atau mengamati fase Y2K emo di kala itu tentunya akan langsung click akan momentum yang lumayan krusial di gelembung musik dan subkultur global tersebut. Untukmu yang masih tak paham, akan saya paparkan konteksnya sedikit.
Di pertengahan tahun 2000-an muncul fenomena gerombolan pemuda-pemudi berdandan gothic maksimal yang biasanya menggunakan moda Myspace – media sosial anak skena pada zamannya yang ngetop – untuk berjejaring dan mengekspresikan dirinya sendiri. Golongan emo era ini sangat distingtif di berbagai aspek dengan para predesornya di era Revolution Summer, gelombang skramz awal atau pun gelombang Jade Tree Records juga Revelation Records di tahun 90-an.
Apabila para predesor emo sebelum era Y2K masih terbilang ‘normies’ untuk aspek fashion, kawanan Y2K emo terbilang lebih all out untuk urusan penampilan. Choker, eyeliner, tebaran piercing, tato, lipstik hitam ahhh you name it. They got every goth item to amplify their ‘emotional’ aspect.
Dari segi musik sendiri, musik dari band-band emo populis yang lalu lalang di berbagai media massa kala itu adalah identitas bagi para kawanan Y2K emo. Band-band macam My Chemical Romance, Paramore, Hawthorne Heights dan semacamnya menjadi soundtrack kehidupan para emo MTV ini dan tak jarang ditemui di kolom bio Myspace mereka – karena mungkin lirik musik dari band-band tersebut terasa relate untuk para anak muda depresif itu.
Geliat pergerakan para kawanan Y2K emo ini terbilang berdurasi singkat – karena tiba-tiba di paruh awal tahun 2010-an jumlah mereka drastis menurun seiring di berbagai halaman media sosial mau pun pemberitaan kala itu. Belum lagi band-band favorit mereka mulai banyak yang mengalami fase gamang. Entah memang tiba-tiba berhenti seperti apa yang My Chemical Romance lakukan di saat itu atau band-nya sendiri mengambil manuver musik yang lumayan jauh dari nuansa musik yang membesarkan mereka di era keemasannya. In a flash, Y2K emo was gone for good. At least for a while.
Hampir satu dekade berlalu setelah senyapnya hiruk pikuk keberadaan Y2K emo di berbagai halaman media sosial. Sampai akhirnya kurang lebih setahun yang lalu hingga kini, entah bagaimana tiba-tiba ada gelombang kemunculan baru dari para kawanan itu di platform media sosial favorit masa kini bernama Tiktok – dan menariknya, kini gerombolan ini bak mengalami regenerasi yang mumpuni. Bukan hanya para millennial yang sempat khusyuk tergabung di lingkup tren keniscayaan zaman itu saja, tapi kini para generasi di bawah mereka pun ada yang lebih all out untuk mengekspresikan estetika Y2K emo di platform tersebut.
Coba tengok sosok influencer Tiktok macam Mad Molly, Hopey Hazbin atau Fernie Mac yang kerap kali mengunggah banyak konten soal trivia Y2K emo lengkap dengan dandanan mereka yang super all out. Ring any bell? Atau seperti sosok Jessica Conrad, salah satu yang dikenal paling fenomenal di Tiktok karena bisa menyuguhkan konten penuh humor tentang skena Y2K yang super duper relevan.
What happened with this resurgence of Y2K emo on Tiktok?
@madmolly #scene #scenekid #scenekids #scenequeen #alternative ♬ Spelljam – SVDDEN DEATH
Eksistensi elder emos adalah benih utama penyebaran trennya di Tiktok
Tentu riak akan paparan estetikan Y2K harus dimulai dari hal yang kecil untuk bisa menciptakan gelombang yang lebih besar bukan? Sepertinya memang ada faktor dimana para pengguna atau influencer Tiktok di kisaran umur 30-an macam Jessica Conrad-lah yang memberikan pengaruh akan paparan perdana banyak user Tiktok – yang mayoritas masih muda dan sama sekali belum lahir ketika tren Y2K emo muncul.
Patut diingat kalau algoritma Tiktok punya salah satu sistem yang terbaik dibandingkan jajaran media sosial masa kini lainnya. Sudah bukan rahasia kalau kode algoritma feed personalization milik Tiktok lebih wahid dibandingkan dengan apa yang dimiliki Meta – dan itulah mengapa tren Y2K emo bisa dipaparkan ke generasi di bawah para penggiat Y2K dengan lebih efisien.
Mari ambil sampel konteks kasus sesederhana ini: kalau kita mengikuti Jessica Conrad di Tiktok yang kerap kali mengunggah konten seputar lika liku dan anekdot tren Y2K emo dan kita kerap kali menyukai konten yang ia buat tersebut, algoritma Tiktok akan dengan sigap melancarkan kodenya untuk menyajikan banyak konten yang temanya berkaitan dengan konten milik Conrad. Setiap swipe setelah melihat konten Y2K emo milik Conrad, akan muncul lebih banyak lagi konten-konten bernuansa serupa untuk feed sang pengguna.
Dengan metode macam itu, tentu paparan konten yang dilihat oleh sang pengguna lambat laun akan tertanam di benaknya dan tinggal urusan brainware-nya saja untuk menerimanya. Tapi dengan ramainya konten Y2K yang bertaburan di sana, sepertinya memang banyak pengguna Tiktok yang akhirnya tergaet oleh pesona tren Y2K emo haha!
@phonyghost #greenscreen #emo #throwback #fyp #scene #blackveilbrides #bvb ♬ Oh No! – Marina and The Diamonds
Y2K emo adalah salah satu produk ‘unggulan’ monokultur 2000-an
Tidak seperti hari ini dimana semua orang punya platform media sosial yang memberikan mereka konten sesuai dengan algoritma perilaku penggunanya, di era pra-akses internet personal hampir seluruh asupan informasi (termasuk aspek informasi budaya pop serta musik) masih dikekang oleh beberapa media yang terpusat macam televisi, radio sampai media cetak – hal itu menyebabkan arus penyebarannya masih bersifat tunggal alias mono. Dan Y2K emo adalah salah satu produk hasil dari proses monokultur tersebut.
Coba kamu ingat-ingat masa itu. Ketika kamu belum terlalu paham akan manfaat internet terbatas pada kala itu untuk mencari informasi seputar musik atau pun subkultur, apa yang kamu gunakan sebagai acuan selera fashion dan musikmu? MTV? Majalah Hai? Program radio yang memutarkan lagu-lagu populer? Itulah yang saya maksud. Band-band Y2K emo justru mendapatkan spot menguntungkan di moda-moda monokultur tersebut.
Bagaimana video klip “Helena†dari My Chemical Romance yang mondar mandir tayang di MTV akhirnya membuat anak muda non-komplek masa itu akhirnya terpapar oleh emo atau bagaimana lagu “Misery Business†dari Paramore yang kerap kali high-rotation di berbagai stasiun radio seluruh dunia pada masa itu bisa merubah daftar putar Nokia N-Gage banyak anak sekolah masa itu yang terlalu picisan menjadi emo adalah hanya dua contoh konkret tentang begitu besarnya pengaruh ‘mesin’ monokultur pada masa itu untuk membuat eksistensi Y2K emo semasif itu.
Berkat moda monokultur macam itu, maka tak mengherankan pengaruh tren Y2K yang masif itu masih terasa imbasnya sampai hari ini – baik dari hanya sekedar pembahasan atau pun sebagai runutan historis yang tak bisa terelakkan. Itulah pula alasan kenapa artis-artis Y2K emo terasa masih everlasting keberadaannya sampai hari ini – karena mereka sempat berada di puncak arus industri musik kala itu berkat sokongan ‘mesin’ media monokultur saat itu. Dan ketika ada sebuah artis atau band yang sempat menaiki pacuan mesin monokultur itu, setidaknya eksistensi dia (meski secuil) akan tertoreh terus di benak masyarakat populis sampai kapan pun. Setidaknya sampai generasi berganti dan mereka sudah dianggap sebagai budaya primitif ketika waktu itu datang.
Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya tentang elder emos yang menjadi biang awal kemunculan Y2K emo di platform Tiktok. Bayangkan berapa banyak elder emos di berbagai belahan dunia yang merupakan hasil ‘doktrinisasi’ monokultur ini? Sudah jelas tak terhitung jumlahnya. Maka tak mengherankan ketika banyak orang yang sempat mengalami fase Y2K itu akan tetap membawa fase nostalgia itu ke unggahan media sosial mereka sampai kapan pun – dan turut mempengaruhi pengguna lain untuk tak malu mengekspresikan fase itu atau pun para pengguna muda yang lain untuk turut larut ke dalam euforia Y2K sebagai penangguhan jati diri mereka di dunia media sosial.
***
Penelusuran di atas tentu hanya masih terbilang dangkal. Mungkin masih banyak aspek yang bisa ditelaah lebih jauh akan kembalinya tren Y2k emo – bisa jadi dari sisi psikologi atau pun sosialnya belum sempat terjamah di tulisan ini. But in any possible way, kembalinya tren ini ke generasi hari ini adalah hal yang lumayan menyenangkan. Bagaimana tidak? Sebuah produk ‘budaya’ yang datang dari generasi yang dianggap menyebalkan oleh para generasi muda di bawahnya bisa menjadi relevan dan mewakili banyak identitas. Entah karena sebatas tren atau memang ada aspek lebih personal akan hal itu, one thing for sure emo ain’t gonna fade away anytime soon.
Text by Alis