2022 mungkin bukan tahun yang baik, tapi setidaknya ada beberapa film bagus yang rilis di tahun 2022. Tanpa banyak berbasa-basi, ini adalah beberapa film favorit JEURNALS di tahun 2022.
Everything Everywhere All At Once (Dir. Daniel Kwan & Daniel Scheinert)
Everything Everywhere All At Once adalah film yang tidak terburu-buru untuk menceritakan cerita yang bagus dan ditulis dengan sangat baik. Film ini seakan tidak peduli dengan pengaruh luar. Crew film ini hanya sekelompok orang yang membuat karya seni dan bersenang-senang sambil melakukannya, dan kamu bisa merasakannya pada saat menonton film ini. Film Sci-Fi ini terlihat seperti film Coen Brothers yang dipengaruhi LSD dan memberi homage pada film-film kung-fu Asia sambil menyindir alam semesta Marvel. Jika kamu seperti saya dan kecewa dengan Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang tidak sesuai ekspektasi, atau hanya ingin bersenang-senang menaiki roller coaster emosional, tolong bantulah diri kamu sendiri dan tontonlah film brilian ini. kamu tidak akan menyesalinya.
The Fabelmans (Dir. Steven Spielberg)
Sebuah semi-autobiografi mengenai Steven Spielberg sebelum menjadi sutradara yang kita kenal seperti sekarang. Dibalut dengan drama keluarga khas cerita coming-of-age, The Fabelmans adalah Cinema Paradiso versi Spielberg. Menceritakan perkenalan awal Spielberg dengan film atau “gambar bergerakâ€dan bagaimana dia jatuh cinta pada dunia “filmakingâ€. Scene saat Sammy terpesona melihat adegan kereta tabrakan yang epik di bioskop (Dari film “Greatest Show on Earth†milik Cecil B. Demille) sampai bagaimana Sammy membuat efek ledakan dan tembakan menggunakan practical effects (pasir dan kembang api) tentunya membangkitkan imajinasi kita. Seperti Cinema Paradiso (1988) milik Giuseppe Tornatore, film ini mengingatkan kembali kenapa kita jatuh cinta pada film-film yang hebat dari kecil sampai sekarang.
Broker (Dir. Hirokazu Koreeda)
Setelah Shoplifters (2018) yang berhasil membuat jutaan penonton meneteskan air mata, Hirokazu Koreeda kembali lagi dengan drama “Broker†yang dikemas seperti sebuah film road movie. Setelah The Truth (2019) yang di shoot di Perancis, kali ini Koreeda — yang biasa membuat film di Jepang dan menggunakan aktor-aktor Jepang — bekerjasama dengan aktor-aktor Korea Selatan seperti Song Kang-Ho (Parasite, Memories of Murder) Donna Bae, Lee Ji Eun (IU) dan Gang Dong Won. Film yang bertema sentral mengenai aborsi, penjualan bayi ilegal dan “Baby box†(Google it) ini dikemas dengan ringan, layaknya gabungan film Little Miss Sunshine dan Juno. Menurut saya ini adalah salah satu film terbaik Hirokazu Koreeda setelah Shoplifters (2018), After Life (1998) dan Still Walking (2008).
Triangle of Sadness (Dir. Ruben Östlund)
Ruben Östlund pernah memenangkan penghargaan tertinggi Cannes, Palme d’Or, dua kali. Kali ini dia kembali dengan sebuah dark comedy satir mengenai kapitalisme. Ruben membahas narasi klasik proletar vs borjuis, dengan kritik sosialisme yang tajam. Tapi uniknya, disini dia tidak hanya memperlihatkan kebobrokan kelas atas saja, melainkan menyamaratakan narasi dengan memperlihatkan kelas proletar yang sama saja corrupted dengan para borjuis jika keadaan berbalik. Saran saya, jangan nonton yang satu ini sambil makan pada saat film memainkan scene “makan malam bersama kaptenâ€.
Pearl (Dir. Ti West)
…Dan film terbaik untuk kategori horror di tahun 2022 jatuh kepada: Pearl. Kombinasi berbahaya antara sutradara “nyeleneh†Ti West dengan Mia Goth tentunya akan menghasilkan output yang luar biasa. Film ini adalah prekuel dari film “X†yang menggabungkan backwoods horror ala Texas Chainsaw Massacre dan elemen ‘70s-porn. Pearl tidak mengambil direksi ke arah itu, melainkan lebih berfokus pada elemen horror psikologis, walaupun tetap dalam ranah slasher horror. Lihat saja betapa luas range emosi yang ditampilkan Mia Goth di film ini, bahkan jika bertemu langsung dengan Mia Goth, saya tentu akan menghindarinya. She’s so believable in this film.
The Batman (Dir. Matt Reeves)
Setelah beberapa film Batman, akhirnya Matt Reeves mengangkat 1 karakteristik Batman yang sepertinya tidak terlalu sentral di film lain: Batman sebagai seorang detektif. Ya, seperti pada komik-komiknya, Batman adalah seorang detektif handal, dan itu adalah satu hal yang membedakan Batman dengan superhero lainnya. Batman disini digambarkan lebih menggunakan insting dan kemampuan detektifnya daripada bergantung pada gadget. Dikemas seperti sebuah film noir yang gelap, ternyata The Batman mampu menghadirkan sosok Batman yang menakutkan, yang surprisingly dimainkan dengan sangat baik oleh Robert Pattinson. The Riddler disini pun dimainkan dengan apik oleh Paul Dano (yang mungkin cocok juga berperan sebagai Joker). Menurut saya, The Batman adalah adaptasi Batman yang sangat baik, dan dalam beberapa hal bahkan lebih baik dari The Dark Knight.
Glass Onion: Knives Out Mystery (Dir. Rian Johnson)
Mungkin ini adalah film detektif whodunit mystery terbaik ditahun ini, karena memang genre thriller seperti ini adalah genre yang terlupakan. Dipopulerkan oleh novel-novel Agatha Christie (Murder on the Orient Express, And Then There Were None), film misteri whodunit lebih berfokus pada misteri siapakah pelaku/pembunuhnya diantara karakter-karakter utama yang muncul di film. Seperti apa yang dia lakukan di Knives Out (2019), Rian Johnson meninggalkan konvensi dan tradisi whodunit mystery klasik dengan penggarapan yang lebih segar. Dan di sekuel ini eksekusinya lebih apik. Dari awal film dimulai, penonton sudah diajak untuk berpartisipasi mengungkap kejahatan ini dengan memperhatikan detail-detail kecil di setiap scene, dialog-dialog yang cerdas dan tentunya membaca gerak-gerik yang mencurigakan. Tentunya film seperti ini akan lebih baik dengan ditonton ulang 2-3x untuk mendapatkan semua detail-detail kecil yang ada. Disini akting Janelle Monáe stand out dan hampir mencuri perhatian di setiap scene, saya tidak akan heran bila dia akan mendapatkan nominasi Oscar dari film ini.
Decision to Leave (Dir. Park Chan Wook)
Jika Park Chan Wook (Oldboy) membuat sebuah kisah cinta, tentunya itu tidak akan menjadi drama percintaan yang generik. Park Chan Wook mengemas kisah percintaan di film ini menjadi salah satu film police procedural / murder mysteries yang keren. Apa yang terjadi jika sang detektif jatuh cinta pada penjahat yang dia cari? Konflik di film ini adalah sebuah pilihan: apakah sang detektif ingin menyelesaikan pekerjaan nya atau mengikuti kata hatinya. Dikemas seperti film noir yang bertempo cepat, Decision to Leave mungkin akan sulit dimengerti pada tontonan pertama karena banyaknya informasi yang harus diproses penonton. Kalian mungkin perlu menonton film ini 2-3 kali untuk melihat semua detail yang ditebarkan dengan apik oleh sang sutradara. Dan jika berbicara mengenai ending, this one got one hell of an ending.
Top Gun: Maverick (Dir. Joseph Kosinski)
Top Gun: Maverick adalah pencapaian sinematik Hollywood di titik tertinggi. Dari scoring yang ditaruh dengan presisi di scene-scene tertentu, set piece action yang di shoot dengan sempurna, akting dari para ensemble cast, visual yang keren hingga direksi yang tanpa cacat dari seorang Joseph Kosinski. Saya cukup beruntung bisa menyaksikan film epik ini di bioskop dengan jernihnya tampilan proyektor Christie dan sound system Dolby Atmos yang menggelegar. Mungkin kamu tidak akan merasakan sensasi maksimal dari film ini jika hanya menyaksikannya di layar laptop kamu yang berdebu. Tapi film seperti Top Gun adalah alasan yang cukup untuk pergi ke bioskop. It’s films like these that makes us go the the movies once in a while.
Aftersun (Dir. Charlotte Wells)
Debut dari sutradara Charlotte Wells ini memiliki premis yang simple: menceritakan liburan Sophie, seorang anak perempuan berumur 11 tahun dengan bapaknya Calum, di sebuah resort di Turki. Bersetting ‘90-an lengkap dengan telepon umum koin, game ding-dong (arcade), walkman dan tentunya Sony handycam. Film ini digambarkan menyerupai flashback yang dikumpulkan oleh Sophie yang sudah dewasa (dan mempunyai seorang anak bayi) melalui video-video dari hasil rekaman handycam yang direkam Sophie selama liburan ketika masih berumur 11 tahun. Charlotte Wells seolah mengajak para penonton duduk dan makan di samping Calum dan Sophie, dengan visualisasi dan dialog yang cukup intim. Calum diperankan dengan sangat baik oleh Paul Mescal dan Francesca Coria memainkan Sophie dengan range emosi yang cukup luas. Chemistry kedua aktor ini juga terlihat seperti hubungan ayah dan anak yang natural, dan tidak dibuat-buat. Film ini sangat wajib ditonton para ayah yang memiliki anak perempuan. Sangat relatable.
EO (Dir. Jerzy Skolimowski)
Sinema yang murni dan lembut jarang terlihat di film-film kontemporer, tetapi EO memperlihatkannya dengan baik. Sutradara Jerzy Skolimowski menggarap film ini di usianya yang sudah menginjak 84 tahun. Hampir semua elemen di EO disusun dan dieksekusi dengan sempurna. Tetapi yang terpenting, EO adalah film yang akan membuatmu patah hati. EO berhasil menghipnotis saya, dengan menyajikan pengalaman sinematik yang transenden dari awal hingga akhir yang menakjubkan..
Honorable Mentions:
1. NOPE (Dir. Jordan Peele)
2. Return to Seoul (Dir. Davy Chou)
3. The Northman (Dir. Robert Eggers)
4. Joyland (Dir. Saim Sadiq)
5. Crimes of the Future (Dir. David Cronenberg)
6. Licorice Pizza (Dir. P.T. Anderson)
7. Tar (Dir. Todd Field)
8. Speak no Evil (Dir. Christian Tafdrup)
9. Pinocchio (Dir. Guillermo Del Toro)
10. Barbarian (Dir. Zach Cregger)
Words by Jeurnals