Mungkin “Garbage Disposal Communiqué†adalah jawaban dari tanah Parahyangan untuk para penggiat post-punk dari Britania Raya. Dengan durasi lagu sependek 1 menitan, Leipzig terus membombardir para pendengar album ini dari satu track hingga track lainnya, dan tanpa kamu sadari album ini sedang memainkan track terakhir “Break A Stone, Cut Some Boughâ€. Penulisan lirik mereka cukup menarik, dengan lirik bilingual (kadang trilingual) dan terbenturnya referensi dari berbagai kultur dengan kearifan lokal (“Iggy Pop bilang kau ‘tak usah hidup / Dan Werner meyakinkan “you don’t deserve to live” / Ku berdansa pada titahmu / Dikultuskanlah namamu / Ritus dansa nada ziarah / Berduka dari Cigadung Rayaâ€). Lirik-lirik Leipzig sedikit mengingatkan saya pada gaya penulisan Ari Ernesto di album “Dorr Darr Gelap Communiqué†milik Hark! It’s A Crawling Tar-Tar.
Berbagai referensi dari Fyodor Dostoevsky, Frida Kahlo, Adidas Gazelle, Ian Curtis, Werner Herzog sampai Noam Chomsky bertebaran di lirik-lirik mereka, yang menurut saya menjadi salah satu highlight di album ini. Menariknya, ada sedikit humor pada lirik-lirik mereka yang mungkin bisa membuat kamu sedikit tersenyum saat mereka berharap Ian Curtis akan khusnul khotimah. Sedikit pengaruh dari Devo, The Fall bahkan The Chats terdapat di musik yang mereka mainkan, and that’s a good thing. Permainan gitar Ryan yang minimalis seolah mengkomplemen seksi ritem band ini, sehingga semua frekuensi ter highlight. Ada sumbangsih terompet free jazz dari Kuntari pada lagu “Sanghyang Ultra†dan juga sumbangan suara dari Michael Sippan (Bleach) pada lagu “Nothing Grand, Nothing Funâ€. Beberapa track favorit saya adalah “Gazelle (Noam Chomsky’s Unanswered Question)†yang minimalis dan dibumbui oleh spoken words dan tentunya “Common Sense†yang selalu menjadi favorit para penonton di pertunjukkan mereka. Yep, sign me up to watch their next show. This band is promising.
Words by Aldy Kusumah