“Kami jadi dengan mudah dikenal orang karena jarang yang mengusung genre ini, jadi ketika bicara soal genre ini kami akan jadi salah satu band yang disebut.â€
Siapa sangka salah satu band surf rock terbaik di Indonesia lahir dari dataran tinggi Sumedang? Rupanya selain dikenal dengan tahu Sumedangnya, surf rock lokal kontemporer juga lahir di Sumedang. Mari berbincang dengan The Panturas mengenai Quentin Tarantino, vampir oriental, reverb basah dan kuliner murah di Jatinangor…
Halo The Panturas! Congrats atas rilisnya ‘Ombak Banyu Asmara’. Ceritakan sedikit bagaimana musik surf rock bisa lahir dari dataran pegunungan Sumedang? Kenapa memilih surf rock dan tidak memainkan musik folk khas dataran tinggi? Hahaha
Halo JEURNALS! Terima kasih banyak. Pemilihan genre musik surf rock sebenernya gagasan Kuya. Pada saat itu Kuya sedang intens menonton film-film Quentin Tarantino yang khas dengan suara gitar dibalut dengan reverb yang basah. Dan pada saat itu di kampus tempat kami kuliah juga jarang yang memainkan genre itu. Jadi kami sepakat memilih genre itu agar terlihat fresh di antara genre folk yang ramai pada saat itu.
“Pemilihan genre musik surf rock sebenernya gagasan Kuya. Pada saat itu Kuya sedang intens menonton film-film Quentin Tarantino yang khas dengan suara gitar dibalut dengan reverb yang basah.â€
Tidak banyak band surf rock di Indonesia. Bagi saya kalian adalah band surf rock lokal kedua yang saya temukan setelah Southern Beach Terror. Apa keuntungan dan kerugian memainkan jenis musik yang tidak umum ini? We love those wet reverb sounds!
Keuntungannya kami jadi dengan mudah dikenal orang karena jarang yang mengusung genre ini, jadi ketika bicara soal genre ini kami akan jadi salah satu band yang disebut. Tapi sebenarnya setelah era Southern Beach Terror masih ada penerusnya seperti The Beertubes, bahkan yang seangkatan kami pun tidak cuman kami, ada juga Bitzmika band dari Bandung yang juga mengusung genre agak mirip.
Kerugiannya pada awal band ini terbentuk kami sedikit kesulitan mencari referensi, apalagi surf rock yang diisi vokal seperti kami. Karena kebanyakan genre ini pure instrumental tanpa adanya vokal. Selain itu juga susah menemukan komunitas yang genrenya surf rock, yang pada akhirnya kami berbaur dengan komunitas musik punk sampai rockabilly pada saat kami memulai. Efek gitar yang kami gunakan itu jenisnya spring reverb.
“Kompilasi Java-Java itu jadi satu trigger juga kalo ternyata musik-musik surf indonesia di tahun ‘70an itu keren-keren.â€Â
Apa yang mengekspos kalian pertama kali dengan musik surf rock? Terlalu banyak menonton intro Pulp Fiction? Menemukan koleksi kaset / piringan The Ventures & The Shadows milik orang tua? Atau karena terlalu banyak mendengarkan Beach Boys di Pangandaran?
Karena suka dengan suara gitar yang menohok dan menjadi menu utama di genre ini. Awalnya dari film-film yang salah satunya Pulp Fiction. Kemudian selain itu, pas awal-awal Kuya tertarik sama satu kompilasi bernama Java-Java: Indonesia Screaming Fuzz. Jadi itu tuh semacam kompilasi band-band Garage Stomp, Indo-Rock dan Beat Surf dari Indonesia. Kompilasi itu jadi satu trigger juga kalo ternyata musik-musik surf indonesia di tahun ‘70an itu keren-keren. Dari situ kemudian menjadi trigger kami untuk mencari lagi referensi dari rekan-rekan yang mengerti genre ini.
Video ‘Tafsir Mistik’ menampilkan homage terhadap film vampir klasik. Seperti gabungan Nosferatu karya F.W. Murnau dan From Dusk TIll Dawn nya Robert Rodriguez. Apa saja film vampir / horror favorit masing-masing personil?
Izal: Pengabdi setan (1980). Karena cuman film Pengabdi Setan film horor yang saya tonton dengan serius. Baik yang tahun 2017 atau yang tahun 1980. Sisanya saya kurang suka film genre horor.
Abyan (Acin): Jarang nonton film vampir kecuali film-film vampir cina yang ada di TV yang ga tau judulnya apa..
Gogon: Sama kaya Acin, jarang nonton film vampir. Tapi kalo horor klasik suka banget. Battle Royal (2000). Alasannya simple, filmnya keren banget anyinggg…
Kuya: Kalo inget vampir, top of mind saya pasti Shaolin Popeye II. Anjir itu vampir pertama kali sebagai anak SD bisa tertawa terbahak-bahak ngelihat vampir. Wu di Fan Dou Xing (film Boboho). Tapi kalo yang ngeri-ngeri masih film Suzzana sih. Beranak Dalam Kubur. Bikin males diam di rumah malam-malam sendiri. Hahaha..
Lalu apakah ada hal-hal mistik yang dialami The Panturas yang menginspirasi lagu ‘Tafsir Mistik’?
Enggak ada sih. Tafsir Mistik mah ditulis dengan alasan yang sangat duniawi dan kurang gaib sih kalau ga salah waktu itu..
Apa saja yang kalian cintai dari Jatinagor dan Sumedang?Â
Suasana nyamannya. Dari udaranya yang masih jauh dari polusi, sampai makanan enak dan murah yang gampang kami jumpai. Terus kalo zaman kuliah ya semangat kolektifnya sih. Berasa banget.
Berapa lama kalian menggarap album ‘Ombak Banyu Asmara’? Ceritakan sedikit mengenai proses songwriting, rekaman dan pembuatan ilustrasi cover nya…
Album ‘Ombak Banyu Asmara’ prosesnya 13 bulan kurang lebih. Untuk songwriting sih awalnya kita workshop selama 2 minggu di studio Lontar punya bang Awan Sore yang lokasinya di Kramar Lontar, Jakarta. Terus lanjut tuh rekaman drum di Studio Lontar dan Syailendra Studio. Sisa instrumen lainnya di Ruang Waktu Music. Yang rada ribet waktu proses mixing mastering karena waktu itu PPKM jadi semuanya dikerjakan secara online sih pake zoom dan Audiomovers. Terakhir buat cover kita kerjasama dengan seniman lukis asal Bali, Andre Yoga. Kita pilih karena emang liat porto nya keren banget dan masuk lah sama mood album ini.
‘Balada Semburan Naga’ memiliki nuansa oriental dan sedikit mengingatkan saya pada The Cramps. Bagaimana awalnya memutuskan untuk berkolaborasi dengan Adipati The Kuda dan memasukkan tema lirik dan nada oriental pada single ini?
Sebenernya tema oriental lebih dulu muncul waktu kita jamming di studio Lontar karena emang kebetulan Acin ngisi gitar dengan nuansa tersebut. Terus waktu itu kita sepakat vokalnya itu saut-sautan dan memutuskan buat featuring. Kita pilih Adipati karena udah kebayang suara teriak-teriak dia cocok buat ngegambarin bapak yang galak. Terus dia beneran udah jadi bapak-bapak yang punya anak perempuan jadi kayaknya feel-nya bakal dapet. Hahaha…
Â
“Kolaborasi tuh selalu seru. Kita gak pernah expect orang mencerna apa yang kami buat diserap jadi medium lain dengan cara mereka yang unik.â€
Kalian juga pernah bekerja sama dengan almarhum Pak Supomo Senikanji. Ceritakan sedikit mengenai kolaborasi tersebut dan juga kolaborasi-kolaborasi dengan seniman / ilustrator lain..
Kuya: Seni Kanji itu saya tahu dari Twitter, Julius Pop Store waktu itu nge-share kalo bapaknya udah pensiun jadi pegawai pabrik dan pengen ngelanjutin passion-nya sebagai tukang gambar. Saya tertarik sama story itu dan tercengang ketika melihat artwork yang Sir Dandy, “Anjir ini otentik gini!†Kayak ada perasaan nostaljik yang gak pernah gua alami ketika lihat gambarnya. Pak Supomo waktu itu merespon lagu ‘Sunshine’ dan Album ‘Mabuk Laut’ untuk keperluan merchandise. Ketika dapat hasilnya, saya langsung puas sih. Kayak gak usah diotak-atik ini mah. Kolaborasi tuh selalu seru. Kita gak pernah expect orang mencerna apa yang kami buat diserap jadi medium lain dengan cara mereka yang unik. Kami selalu nyari-nyari dan terbuka untuk segala kolaborasi, terutama illustrator. Moga saja ada teman-teman ilustrator yang belum kami kenal atau ketemu bisa senggol langsung dan kerjasama ya hehehe.
 Words & interview by Aldy Kusumah
Photos from The Panturas archives