Mungkin kita mengenal Alvin Yunata dari band garage punknya Teenage Death Star. Tetapi banyak yang tidak mengetahui kalau ex-vokalis Harapan Jaya ini juga adalah seorang archivist kultur musik lokal. Dengan platform Irama Nusantara-nya, Alvin dan David Tarigan mengarsipkan dan melestarikan musik-musik nusantara lama yang obscure maupun mainstream. Kali ini Alvin mencoba merangkum sejarah sebuah gedung musik ikonik yang telah menjadi “kuil†bagi para penikmat musik underground dalam film dokumenternya, Gelora: Magnumentary of Saparua, yang dia kerjakan bersama teamnya Hazed TV. Selain itu, dokumenter ini juga berkolaborasi dengan Rich Music Online dan distorsiKERAS. Simak obrolan JEURNALS bersama Alvin berikut ini…
Apa yang membuat lo tergugah untuk membuat dokumentasi Gelora Saparua ini selain untuk pengarsipan?
Â
Awalnya Khemod nelepon, dia dan tim Rich Music Online punya rencana untuk bikin dokumenter, dan Khemod minta gw yang handle. Awalnya punya niat untuk melanjutkan dokumenter “Membakar Batas” tapi mengingat tenggat waktu yang singkat dan lain hal sepertinya lebih baik mengganti judul dan tema. Akhirnya tema yang paling masuk akal dengan tenggat waktu yang singkat sepertinya tema Saparua dalam perspektif sebuah gedung. Tema tersebut menarik dan masuk akal. Selain memang secara personal gw punya cerita dengan gedung Saparua semasa SMA di tahun 1994.
Ceritakan sedikit proses development sampai syuting dan post-produksi film dokumenter ini…
Yang menantang memang masalah deadline 3 bulan, untungnya beberapa arsip khususnya era 90an memang sudah terkumpul dari bank film “Membakar Batas”, setidaknya tidak memulai dari nol banget. Itu pun kurangnya masih banyak banget, proses pengumpulan arsip memang selalu sangat menarik, arsip terus berdatangan sampai detik-detik akhir. Arsip yang paling sulit didapat yakni arsip-arsip di era 80-90 awal. Semua dikerjakan paralel, lab story adalah bagian awal yang paling berat karena perubahan cerita terus terjadi bahkan hingga masa-masa post production. Disamping itu ada masalah urusan hak cipta arsip dan lagu yang memakan banyak waktu.
Bagaimana kendala membuat film dokumenter di era pandemi?
Bagaimana kendala membuat film dokumenter di era pandemi?
Â
Untuk urusan syuting masih tidak ada masalah karena toh tim produksi untuk ukuran film dokumenter tidak terlalu banyak kru, yang terpenting pengaturan jadwal narasumber yang sengaja dipadatkan di setiap hari dan kotanya. Hal yang paling terberat adalah ketika memulai editing offline yang bersamaan dengan libur lockdown lebaran kami terpaksa melakukannya via online, sangat menyulitkan sekali
Siapa saja team inti yang terlibat dan menggodok ide-ide sebelum proses syuting dimulai?
Â
Saya membawa tim Hazed TV, kami memang pernah membuat dokumenter pendek Burgerkill berafiliasi dengan Amvibe. Hazed memang diarahkan untuk menjadi story lab, wadah bagi para penyuka audio dan visual serta film dokumenter budaya populer. Ada saya sebagai sutradara, Probo sebagai art director, Rio Tantomo untuk skrip dan cerita dibantu juga oleh Gerry dari Irama Nusantara yang juga mengepalai pengumpulan arsip.
Apa saja dokumenter luar dan lokal favorit lo? Mungkin Dig! yang membahas Dandy Warhols dan Brian Jonestown Massacre atau yang baru-baru seperti The Pedal Movie?
Banyak euy.. ya Dig! film yang menarik tentu. Namun untuk film ini gw lagi banyak nonton Tropicalia, Don’t Think I’ve Forgotten: Cambodia’s Lost Rock and Roll, Salad Days, Under The Influence: 2 Tone Ska, White Riot.
Bagaimana proses pengumpulan arsip foto dan video untuk dokumenter ini?
Lebih sulit mencari sih kalo memilih justru part yang paling seru, banyak banget yang udah terkumpul tapi sayang ga bisa keluar semua. Ya itu tadi seperti gw bilang bahkan ampe menit-menit terakhir masih banyak arsip yang berdatangan, bahkan setelah film beres mulai banyak lagi bermunculan hahaha…
Apa ada narasumber yang sempat ingin dimasukkan tetapi tidak jadi karena ada kendala?
Ya ada Gustaf Common Room. Adalah satu dan lain hal membuat beliau urung gabung. Untungnya beliau masih mau bantu dalam brainstorming awal.
Bandung disebut-sebut sebagai “kota musik” tetapi disisi lain proses perijinan gigs sulit dan juga minimnya venue musik. Bagaimana pendapat lo?
Â
Saya membawa tim Hazed TV, kami memang pernah membuat dokumenter pendek Burgerkill berafiliasi dengan Amvibe. Hazed memang diarahkan untuk menjadi story lab, wadah bagi para penyuka audio dan visual serta film dokumenter budaya populer. Ada saya sebagai sutradara, Probo sebagai art director, Rio Tantomo untuk skrip dan cerita dibantu juga oleh Gerry dari Irama Nusantara yang juga mengepalai pengumpulan arsip.
Beberapa gigs Saparua yang berkesan buat lo?
Gw cuma punya 3, tapi bukan berarti yang lain gak berkesan ya…
– Pensi SMA 2 tahun 1994 karena itu panggung gw pertama saat itu gw masih kelas 2 SMA dan tergabung dalam big band SMA 2 yang gw inget banget abis gw perform ditutup 2 bintang tamu Puppen dan Roxx.
– Hullabaloo 1 paling berkesan acara yang punya diversitas yang cukup luas bisa liat The Waves, Full of Hate, Pure Saturday dalam satu panggung. Salah satu momen yang akhirnya membuat gw berniat mendalami alternative dan britpop.
– Ticket To Ride mungkin itu terakhir gw menginjakkan nonton konser di Saparua tahun 2001, acara yang paling sempurna dalam segala sisi dari band pengisi acaranya, kompilasinya dan juga gerakannya.
Band-band favorit lo era saparua apa saja? Ada yang lo harapkan untuk reuni?
Runtah, Turtles Jr, Full of Hate, Closeminded, Koil, Electrofuxx, Puppen, Sieve, Pure Saturday mostly di genre punk rock, hardcore, alternative. Wah yang mesti reuni siapa ya kayaknya gak usah deh biar jadi kenangan aja, kalo bisa ada video show jaman dulunya itu lebih keren hahahaha…