Karya monumental Sofia Coppola yang di shoot dalam waktu singkat
Siapa sangka sebuah film “indie†yang di shoot dalam waktu 27 hari secara gerilya (tanpa izin) di Tokyo dengan kru yang dan peralatan yang minimal dan seadanya bisa menjadi sebuah film yang mencapai status cult bahkan memenangkan berbagai penghargaan? Lupakanlah “The Virgin Suicidesâ€, “Marie Antoinette†The Bling Ring†atau “On the Rocksâ€, karena “Lost in Translation†adalah puncak karir Sofia Coppola (menurut saya). “Lost in Translation” adalah film tahun 2003 yang disutradarai oleh Sofia Coppola (Anak dari sutradara legendaris Francis Ford Coppola, pembuat film Godfather). Film ini dibintangi oleh Bill Murray (Ghostbusters), Scarlett Johansson (The Avengers), Giovanni Ribisi dan Anna Faris dan berkisah tentang kisah persahabatan platonik tak terduga yang berkembang antara aktor Amerika paruh baya, Bob Harris (diperankan dengan pas oleh Bill Murray), dan seorang wanita muda, Charlotte (diperankan oleh Johansson), di Tokyo. Film ini mengeksplorasi tema kesepian, alienasi, koneksi, dan dislokasi budaya saat kedua karakter tersebut menavigasi lanskap Tokyo yang asing dan terkadang membuat mereka terisolasi secara kultural dan bahasa. Ceritanya diceritakan dengan nada yang tenang dan introspektif, memungkinkan para karakter untuk mengekspresikan rasa keterasingan meski dikelilingi oleh kota yang ramai dan semarak. “Lost in Translation” menerima pujian kritis atas penyampaian cerita yang low-key, sinematografi atmosferik, soundtrack keren dan penampilan para aktor utamanya. Bill Murray secara khusus dipuji atas perannya, memberinya beberapa nominasi penghargaan dan Penghargaan Golden Globe untuk Aktor Terbaik. Uniknya, beberapa scene disini di shoot dengan gaya improvisasi dan minim skrip dialog. Dan ini memberi ruang bagi Bill Murray dan Scarlett Johansson untuk bersinar.
Memenangkan piala Oscar
Sofia Coppola sendiri memenangkan Academy Award untuk Skenario Asli Terbaik untuk film tersebut, menjadikannya wanita ketiga yang pernah memenangkan penghargaan ini. Filmnya sendiri juga masuk nominasi beberapa Academy Awards lainnya, antara lain Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Coppola, dan Aktor Terbaik untuk Bill Murray. Meskipun tidak menang dalam kategori-kategori ini, “Lost in Translation” tetap menjadi film yang diakui secara luas dan berpengaruh di sinema kontemporer. “Lost in Translation” telah dipuji secara luas oleh para kritikus dan penonton karena perpaduan unik antara humor, melankolis, dan introspeksi. Uniknya, film ini lebih menekankan pada mood yang dibangun oleh sinematografi-nya ketimbang menitikberatkan bobot film di ceritanya. Menonton film ini seperti sedang mengkonsumsi sebuah album MBV tanpa jeda, dan memang ada sebuah lagu MBV dan beberapa lagu yang disumbangkan oleh Kevin Shields disini.
Direksi unik Sofia Coppola dan improvisasi Bill Murray
Direksi dan skenario Sofia Coppola sering dipuji karena tema-temanya yang unik. Film ini tidak mengandalkan dialog yang berat atau skenario yang eksplisit. Sebaliknya, ia menangkap esensi emosi karakter dan suasana sekitarnya melalui momen-momen yang bernuansa dan adegan-adegan yang meditatif. Film ini juga tergolong slow-burn dengan alurnya yang lambat dan moody. Karena itu juga chemistry antara kedua aktor utamnya sangat penting di film ini. Bill Murray dan Scarlett Johansson memberikan penampilan yang luar biasa. Murray, khususnya, terkenal karena perannya sebagai Bob Harris, yang menghadirkan perpaduan sempurna antara humor dan kerentanan pada karakter tersebut. Johansson, dalam salah satu peran awalnya yang terkenal, melengkapi penampilan Murray dengan penggambaran Charlotte yang bersahaja dan menarik. Sinematografi dari DOP Lance Acord sering dipuji karena menangkap keindahan Tokyo dan menciptakan suasana yang dreamlike dengan warna-warna neon, kekosongan hotel Prak Hyatt Tokyo, kuil-kuil Kyoto yang dingin dan menangkap rasa sepi dan ramai disaat yang sama. Visualnya membantu menyampaikan perasaan dislokasi karakter dan perbedaan budaya antara negara asal mereka dengan Tokyo. Film ini juga memberikan eksplorasi unik tentang perbedaan budaya dan keterasingan yang mungkin timbul karena berada di tempat asing. Ini kontras dengan lingkungan Tokyo yang serba cepat, modern, dan terkadang membuat pribadi para karakter di film ini dekat dengan perasaan terisolasi.
Musik yang membangun mood dan narasi
Soundtrack film, yang menampilkan musik oleh Kevin Shields dan berbagai artis seperti Death in Vegas, Phoenix, Squarepusher, Sébastien Tellier, dan Happy End. The Jesus and Mary Chain menyumbangkan lagu yang pas untuk ending film bittersweet ini dengan “Just Like Honey” dan “Sometimes” dari My Bloody Valentine tampil sangat ikonik dengan latar visual Scarlett Johansson yang sedang mabuk melihat gedung-gedung neon dari jendela taxi. Soundtrack Lost in Translation ini terkenal karena kualitas atmosfer dan pemilihan lagu yang sangat sesuai dengan mood film. Musik-musik ini melengkapi narasi dan berkontribusi terhadap dampak emosional film. Jangan lupakan juga scene dimana Bil Murray karaoke menyanyikan lagu Elvis Costello yang ikonik: “(What’s So Funny ‘Bout) Peace, Love, and Understanding” dan tentunya “More Than This” milik Roxy Music yang menampilkan sebuah scene yang cukup sentimental. Scarlett Johansson juga menyanyikan lagu Pretenders yang terkenal: “Brass in Pocket”. Scene karaoke tersebut diakhiri oleh sebuah adegan awkward dengan lagu Happy End di latar. Sofia pun meningkatkan intensitas dengan memasangkan lagu “Too Young†milik Phoenix dengan sebuah scene dimana Bob Harris dan Charlotte berdansa di sebuah house party yang dipenuhi para penggiat fashion Tokyo. Oh iya, jika kamu memperhatikan dengan seksama, ada sebuah lagu Peaches (yang tidak masuk soundtrack) yang dimainkan di sebuah scene sebuah sex club yang dihadiri Bob Harris.
Lost in Translation: Sebuah karya monumental
Overall, tema Isolasi dan koneksi adalah menu utama yang ingin disampaikan Sofia di “Lost in Translation”. Sofia menyelidiki tema universal tentang kesepian dan pencarian koneksi, yang menurut kabar idenya diambil dari hubungan Sofia dengan mantan kekasihnya Spike Jonze (sutradara video musik terkenal) pada saat mereka sedang di Tokyo. Perjalanan emosional para karakter dan ikatan yang terbentuk di antara mereka bergema di hati penonton, dan karena relate dengan banyak penonton di seluruh dunia, film ini pun mendapat status yang cukup cult. Meskipun “Lost in Translation” mendapat banyak pujian, beberapa kritikus mencatat bahwa narasinya yang lambat dan halus mungkin tidak disukai oleh mereka yang lebih menyukai penceritaan yang lebih tradisional dan bertempo cepat. Namun, dampaknya terhadap dunia sinema dan kemampuannya membangkitkan emosi yang tulus telah memperkuat posisinya sebagai film klasik modern. Walaupun banyak film independen bergenre tragicomedy di era 2000an memiliki style yang hampir sama, menurut saya pribadi, film ini cukup unik dan untuk mendapatkan experience menonton yang spesifik seperti ini, hanya di film “Lost in Translation†saja saya dapat memuaskan dahaga yang spesifik ini.
Words by Aldy Kusumah