Tidak hanya karya-karya literatur saja yang selalu sarat dengan tema-tema sosial-politik, sinema juga sudah dari dulu menjadi salah satu medium terbaik dalam menyampaikan ide-ide menarik, memantik ruang diskusi sampai menyuarakan ideologi tertentu. Beberapa bergenre sci-fi seperti Code 46, Soylent Green, sampai They Live yang di kemudian hari menjadi ide bagi Shepard Fairey untuk memulai Obey Giant. Lalu ada beberapa yang diadaptasi dari karya literatur seperti adaptasi 1984 milik George Orwell yang disutradarai Michael Radford sampai V For Vendetta milik Alan Moore yang diangkat ke layar lebar. Bahkan film yang dikemas dengan “ringan” seperti Robocop (1987) pun mempunyai tema anti–police state dan anti kapitalisme didalamnya. Dengan eskalasi genosida di Palestina dan krisis iklim yang diam-diam sudah membawa kita ke era dystopia, sepertinya beberapa film sosial-politik ini akan semakin relevan untuk direkomendasikan dan ditonton. Walaupun sinema adalah sebuah budaya eskapisme, tidak ada salahnya menonton beberapa film menarik ini untuk memperkaya wawasan kamu kepada ide-ide liar dan imajinasi para creator film. Ini adalah beberapa film sosial-politik rekomendasi JEURNALS:
Civil War (2024, Alex Garland)
Tidak, film ini tidak berfokus pada polarisasi diskursus antara partai demokrat vs republikan di Amerika Serikat. Film ini hanya sebuah dystopia mengenai sebuah negara yang dikuasai oleh presiden diktator yang otoriter. Presiden ini bertahan selama 3 periode melebihi batas maksimal 2 periode / 8 tahun, lalu dia membubarkan FBI dan puncaknya menyerang warga sipil yang tidak menyetujui kebijakan-kebijakan nya menggunakan serangan udara (mengadu domba rakyat dengan militer). Dystopia seperti ini bisa saja terjadi di negara manapun jika negara tersebut dikuasai oleh seorang asshole. Kirsten Dunst (Spiderman, Marie Antoinette, Virgin Suicides), Wagner Moura (Narcos) & Cailee Spaeny (Priscilla, Alien: Romulus) membintangi Civil War dengan baik. Mereka berperan menjadi jurnalis perang yang meliput perang sipil ini, dan travelling dari New York menuju ke Washington D.C. dan menjadikan film ini seperti sebuah road movie yang menarik. Sebuah tour de force untuk melihat perang dari sudut pandang pertama, tentunya dengan visual yang indah dan sound design yang keren; suara tembakan di film ini bahkan lebih realistik dari Heat milik Michael Mann. Coba saja tonton yang satu ini di IMAX. Dengan direksi yang presisi dari seorang Alex Garland (28 Days Later, Ex-Machina), kalian akan melihat Western Forces yang terdiri dari Texas & Kalifornia melawan Pemerintahan Amerika yang sudah bobrok, dibantu oleh Maoist dari Portland. Dengan background mata uang dollar merosot, bendera AS yang menjadi 2 bintang dan presiden yang diburu oleh 90% rakyat sipil, tentunya ini adalah sebuah eskapisme yang satisfying. Film ini mempunyai soundtrack menarik juga dari Suicide, De La Soul, Sturgill Simpson sampai scoring dari Geoff Barrow (Portishead). Sebuah film perang dari studio A24 tentunya tidak akan kamu lewatkan begitu saja.
How to Blow Up A Pipeline (2023, Daniel Goldhaber)
Mungkin ini adalah film dengan pesan aktivisme yang cukup penting di tahun 2023 ini. Jika membicarakan efek rumah kaca dan krisis iklim, suka atau tidak suka tentunya efek perubahan cuaca ekstrim sudah mulai terasa langsung oleh kita semua. Apalagi dengan banyak nya heatwave yang memakan banyak korban jiwa di Asia, terutama di India dimana jalanan aspal pun meleleh. How To Blow Up A Pipeline diadaptasi dari buku berjudul sama karya Andreas Malm yang diterbitkan pada tahun 2021. Sebuah buku yang mengusulkan direct action dalam menanggapi krisis iklim ini dikemas menjadi film heist-thriller yang menarik. Sutradara Daniel Goldhaber mengubah ide Malm menjadi dasar untuk film thriller perampokan yang sangat efisien. Alih-alih masuk ke lemari besi atau museum, 8 karakter di film ini berkonspirasi untuk melakukan tindakan sabotase yang akan merusak harga minyak di seluruh dunia. Para eco-terrorist ini adalah 8 orang dengan tujuan yang sama, walaupun memiliki motivasi personal yang berbeda pada awalnya. Struktur flashback ala Tarantino yang perlahan memperkenalkan kita dengan para komplotan ini cukup menarik. Intensitas dan pacing di seluruh film tetap terjaga dari scene pembuka dimana Xochitl menusuk ban sebuah mobil SUV sampai adegan ending yang juga tidak kalah menarik dan cukup satisfying. Goldhaber bisa memacu tingkat ketegangan dan menerapkan efisiensi yang menjadi terlalu langka di film-film mainstream. Tetapi “How to Blow Up a Pipeline” dikemas sebagai film dengan sebuah pesan. Dalam semangat kolektivitas, ini disebut sebagai upaya kelompok. Jika mengingat prolog awal resensi ini, situasi krisis iklim yang semakin hari semakin berbahaya ini membutuhkan urgensi, dan sepertinya quotes eco-terrorism is self-defense akan sangat relatable di tahun 2024 ini.
Children of Men (2006, Alfonso Cuarón)
Masyarakat futuristik menghadapi teror kepunahan ketika tidak ada anak yang dilahirkan dan umat manusia kehilangan kemampuan untuk bereproduksi. Inggris menjadi sebuah negara dystopia dimana kekacauan, protes dan terorisme merajalela.
Children of Men adalah sebuah film sci-fi distopia dari tahun 2006 yang disutradarai oleh Alfonso Cuarón yang pernah membuat film Harry Potter terbaik: Harry Potter & The Prisoner of Azkaban. Film ini diadaptasi dari novel tahun 1992 berjudul sama karya P.D. James. Tentunya film dengan latar belakang dunia di masa depan di mana umat manusia menghadapi kepunahan karena ketidaksuburan global kana menjadi sesuatu yang dark. Film ini mengikuti Theo Faron (diperankan oleh Clive Owen), seorang birokrat yang terjerat dalam rencana untuk melindungi wanita hamil pertama dalam 18 tahun. Dalam perjalanan untuk melindungi wanita hamil tersebut, Theo akan berhadapan dengan pasukan pemerintah, kelompok militan, dan keruntuhan masyarakat secara struktural. Children of Men terkenal karena sinematografinya yang inovatif, dan ikonik khususnya pengambilan gambar yang panjang (long takes) dan world-building yang sangat detail dan megah. Realisme film yang kasar dan penggambaran masyarakat distopia yang suram membuatnya mendapat pujian kritis dan mengukuhkan statusnya sebagai film sci-fi yang patut diperhitungkan. Tema-tema mengenai agama, pemerintahan yang totalitarian dan police-state juga menjadi highlight film ini.
Exit Through the Gift Shop (2010, Banksy)
Exit Through the Gift Shop adalah film dokumenter yang disutradarai oleh seniman jalanan Banksy, yang karya-karya nya selali mengkritisi budaya kapitalisme kontemporer dan pemerintahan otoriter. Dirilis pada tahun 2010, dokumenter ini mengeksplorasi dunia seni jalanan, dengan fokus pada kemunculan Thierry Guetta, seorang imigran Perancis yang tinggal di Los Angeles yang asyik dengan dunia seni jalanan. Thierry Guetta awalnya mendokumentasikan kehidupan dan karya berbagai seniman jalanan, termasuk Banksy, Shepard Fairey, dan Invader. Namun, seiring dengan berkembangnya film dokumenter tersebut, terlihat jelas bahwa Guetta sendirilah yang menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut. Didorong oleh Banksy, Guetta mulai menciptakan karya seninya sendiri dengan nama “Mr. Brainwash.” Film ini mengaburkan batas antara kenyataan dan fiksi, menimbulkan pertanyaan tentang keaslian, ketenaran, dan komersialisasi seni. Dampak media massa terhadap budaya dan tema ekspresi artistik juga menjadi eksplorasi yang di-highlight oleh Banksy. Exit Through the Gift Shop menerima pujian kritis secara luas dan memenangkan berbagai penghargaan, termasuk Penghargaan Grierson untuk Dokumenter Terbaik di British Independent Film Awards. Film ini memikat penonton dengan cerita yang menarik dan memberikan gambaran sekilas yang menarik tentang dunia seni jalanan dan hubungannya dengan budaya mainstream & pop culture. Penonton akan dimanjakan dengan footage-footage interview Banksy yang jarang terjadi dan scene-scene behind the scene proses Banksy bombing di jalanan pada malam hari. Terlepas dari format dokumenternya, beberapa aspek dari film ini tetap diselimuti misteri, menambah daya tariknya dan memicu spekulasi di kalangan penonton tentang niat Banksy dan Thierry Guetta. Secara keseluruhan, Exit Through the Gift Shop berdiri sebagai eksplorasi seni, perdagangan, dan dunia street-art yang penuh dengan teka-teki. Penempatan lagu Tonight the Street Are Ours milik Richard Hawley di dokumenter ini akan selalu membuat Saya merinding saat menyaksikan end creditsnya.
Do the Right Thing (1989, Spike Lee)
Ini adalah film tahun 1989 yang disutradarai oleh Spike Lee. Bertempat di lingkungan Bedford-Stuyvesant di Brooklyn pada hari terpanas sepanjang tahun, film ini mengeksplorasi ketegangan rasial yang meningkat sepanjang hari, yang pada akhirnya berpuncak pada tragedi. Ceritanya berputar pada ensemble cast multi-rasial, Mookie (diperankan oleh Spike Lee), yang bekerja di Sal’s Famous Pizzeria, Sal (diperankan oleh Danny Aiello), pemilik restoran pizza Italia-Amerika, Samuel L. Jackson, John Turturro dan Radio Raheem (diperankan oleh Bill Nunn), seorang pemuda kulit hitam yang dikenal selalu memainkan boombox dengan cincin love-hate-nya yang ikonik. Seiring berjalannya waktu, ketegangan meningkat antara penduduk kulit hitam di lingkungan tersebut dan keluarga Sal yang keturunan Italia-Amerika, yang menyebabkan serangkaian konfrontasi dan akhirnya terjadi ledakan kekerasan yang juga melibatkan police brutality. Do the Right Thing dikenal karena penggambarannya yang kuat mengenai ketegangan rasial dan eksplorasi tema-tema seperti prejudice, diskriminasi, dan kebrutalan polisi terhadap ras-ras tertentu. Penyutradaraan dan skenario Spike Lee mendapat pujian luas atas kejujuran dan keotentikan dalam menggambarkan kompleksitas hubungan ras di perkotaan Amerika. Film ini sukses secara kritis dan komersial dan menerima banyak penghargaan, termasuk dua nominasi Academy Award. Sejak itu, karya tersebut dianggap sebagai karya penting dalam sinema Amerika, yang dikenal karena komentar sosialnya dan kemampuannya memprovokasi pemikiran dan diskusi tentang ras dan masyarakat.
Fight Club (1999, David Fincher)
Hanya Chuck Palahniuk yang bisa menyambungkan korelasi antara pabrik sabun, pertarungan bebas dan anarkisme. Fight Club adalah sebuah film cult yang dirilis di tahun 1999. Film ini adalah sebuah adaptasi yang berhasil dari novel karya Chuck Palahniuk yang diterbitkan pada tahun 1996. Disutradarai oleh David Fincher, dan dibintangi oleh Brad Pitt, Edward Norton dan Helena Bonham Carter. Film ini berdasarkan pada novel tahun 1996 karya Chuck Palahniuk. Norton berperan sebagai anonymous narator yang tidak bisa dipercaya, yang tidak puas dengan pekerjaan corporate-nya. Dia membentuk “sebuah fight club di basement sebuah bar dengan penjual sabun karismatik bernama Tyler Durden (Pitt), dan terlibat dalam hubungan dengan seorang wanita nyeleneh bernama Marla Singer (Bonham Carter) yang kerap menghadiri grup-grup diskusi penderita kanker dan penyakit berbahaya lainnya. Klub pertarungan bawah tanah ini berfungsi sebagai saluran bagi para pria yang kecewa dengan kehidupan duniawi mereka untuk melepaskan rasa frustrasi mereka melalui kekerasan fisik. Lalu klub ini pun berkembang menjadi sebuah organisasi bernama Project Mayhem yang cukup berbahaya. Mereka bertujuan untuk membongkar norma dan institusi masyarakat. Tema maskulinitas, konsumerisme, dan pencarian identitas mendominasi sepanjang narasi, dan film ini juga memiliki sebuah plot twist yang sangat menarik. Novel dan film ini mendapatkan banyak penggemar karena eksplorasi provokatifnya terhadap kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat zaman modern. Kedua versi tersebut dipuji karena humor gelapnya, komentar sosial yang pedas, dan struktur plot yang rumit. Namun, mereka juga memicu kontroversi dan perdebatan mengenai penggambaran kekerasan dan nihilisme. Fight Club telah meninggalkan dampak jangka panjang pada budaya populer, dan mempengaruhi diskusi tentang maskulinitas, budaya konsumen, dan sifat pemberontakan yang terus dipelajari dan dianalisis di kalangan akademis, dan juga menjadi sebuah stepping stone atau gateway bagi penonton yang tertarik pada karya sastra dan film subversif.
The Platform (2019, Galder Gaztelu-Urrutia)
The Platform adalah film horor-sci-fi dari Spanyol yang disutradarai oleh Galder Gaztelu-Urrutia, dan dirilis pada tahun 2019. Setting dystopia di film ini cukup menarik: berlatarkan penjara vertikal di mana narapidana ditempatkan di tingkat yang berbeda, dengan platform besar makanan yang turun melalui level setiap hari. Makanan dimulai dari tingkat atas dan dimaksudkan untuk memberi makan semua tahanan, namun seiring berjalannya waktu, semakin sedikit makanan yang tersedia bagi mereka yang berada di tingkat bawah. Hey, rupanya ini bukan sebuah karya fiksi melainkan analogi pembagian kue yang sedang terjadi di era kontemporer ini ya? Film ini mengeksplorasi tema kesenjangan sosial, hierarki sosial, dan human condition secara umum. Sebuah studi karakter terhadap perilaku orang-orang ketika dihadapkan pada kelangkaan makanan, serta konsep altruisme versus pelestarian diri. Tokoh protagonis-nya rela dipenjara dengan imbalan ijazah S1, namun ia segera menyadari kenyataan pahit kehidupan di penjara vertikal ini. Film ini dipuji karena elemen alegorisnya dan kemampuannya menghasilkan diskusi tentang isu-isu sosial seperti distribusi kekayaan dan sifat manusia. Akhir film yang ambigu telah memicu banyak interpretasi dan diskusi di kalangan penonton. Overall, The Platform cukup menonjol sebagai film sci-fi yang menarik dengan genre sci-fi-horror, menawarkan hiburan yang intens dan komentar sosial yang mendalam.